Anak Sekolah Masuk Kelompok rentan
Jakarta | Jurnal Inspirasi
Indonesia dinilai belum siap membuka kegiatan belajar dan mengajar (KBM) di sekolah. Meskipun masa tahun ajaran baru 2020/2021 dipastikan tetap digelar Juli mendatang, namun karena pandemi virus Corona (Covid-19) KBM di sekolah masih belum bisa dilakukan.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memperingatkan, untuk membuka KBM setidaknya ada tiga faktor yang harus menjadi perhatian. Pertama masih tingginya kasus positif Covid-19, sistem kesehatan yang lemah dan minimnya pamantauan kesehatan masyarakat.
“Kapan dibuka sekolah? PCR (polymerase chain reaction) kita jauh di bawah Korea Selatan dan negara lainnya bahkan Pakistan. Ini tentu jadi kendala ketika sekolah buka kita tidak siap,” ujar Ketua Pengurus Pusat IDAI Aman Pulungan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip dari Sindonews, Jumat (26/6).
Dia menambahkan, saat ini banyak satuan pendidikan yang membuka pendaftaran hanya mengandalkan rapid test. Padahal, kata dia, tes tersebut tidak bisa untuk diagnosis tetapi endemologi. “Kalau anak kita enggak mau hanya rapid test, harus PCR,” katanya.
Menurut Aman, apabila sekolah dibuka maka harus juga diperkirakan juga potensi peningkatan kasus virus korona, termasuk perawatan ICU (intensive care unit) dan angka kematian yang bakal meningkat
Dia mencontohkan, pembukaan sekolah di New South Wales, Australia. Ternyata, selama satu bulan pemantauan jarak dekat (close monitoring), guru murid dan pegawai saling menularkan. Dari 15 sekolah, ada 18 kasus ditemukan. Padahal, hasil tes PCR saat masuk menyatakan negatif.
Kemudian, lanjut Aman, yang perlu menjadi pertimbangan adalah bukan hanya anak-anak yang terinfeksi tetapi juga orang dewasa dan lansia yang berada di rumah yang bisa terinfeksi. Di Singapura, ujar dia, sekolah sudah mengatur protokol kesehatan yang sangat ketat tetapi masih ada anak yang terinfeksi karena mereka terkena di jalan, bukan di sekolah. “Tadi KPAI katakan lokasi rumah ke sekolah jadi masalah besar kalau mau buka sekolah,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Aman juga berpesan agar satuan pendidikan lain seperti pesantren dan boarding school untuk berhati-hati guna mencegah munculnya klaster baru penyebaran Covid-19. Menurutnya, terdapat 19 juta anak yang akan masuk pesantren dan asrama dan hal tersebut sudah dibahas IDAI bersama dengan MUI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan lembaga terkait lainnya.
“Banyak sekolah maupun pesantren di Indonesia yang anatomi atau tata letak bangunannya tidak sesuai dengan protokol Covid-19. Letak kamar mandi, kelas, ruang guru. Kalau 2021 mau dibuka harus dilihat mana sekolah dan pesantren yang anatominya sesuai dengan protocol Covid,” imbuhnya.
IDAI juga mengungkapkan, selama masa pandemi anak-anak termasuk kelompok yang rentan terhadap Covid-19. Bedasarkan data yang dihimpun IDAI, terdapat 240 anak meninggal di masa pandemi. Angka tersebut, menurut IDAI, termasuk yang paling banyak di Asia atau mungkin di dunia. Anak-anak tersebut seringkali terlambat dirujuk ke rumah sakit (RS) dan masa perawatannya pun rata-rata tidak sampai 72 jam dan ada yang kurang dari 24 jam hingga akhirnya meninggal.
“Memang kalau kita lihat kasusnya ini masih meningkat. Tentulah tadi saya lihat media asing mengatakan mereka concern masalah anak. Saya pernah juga diwawancara dan saya nyatakan masalahnya adalah ketidakmerataan, inequality data dan pelayanan. Kita tidak bisa lihat pelayanan di Jakarta tapi gimana di provinsi lain,” kata Aman.
Aman memaparkan, akses swab test di Tanah Air tidak merata di sejumlah daerah. Misalnya, ada suatu provinsi yang memiliki 1.000 sampel yang masih menunggu untuk diperiksa. Bahkan ada provinsi yang harus menunggu beberapa hari atau bahkan menunggu pesawat baru bisa diperiksa sampelnya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengingatkan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait pembukaan sekolah di zona hijau. Pasalnya, tidak semua sekolah di zona hijau siswa dan gurunya berasal dari lingkungan yang sama. Ada sebagian sekolah yang siswa dan gurunya berasar dari zona kuning bahkan merah.
“Pertama, terkait pembukaan sekolah terkait zona harus hati-hati karena tidak semua sekolah yang berada di zona hijau siswanya dari zona hijau. Ada beberapa sekolah yang siswanya dari zona kuning atau merah,” kata Ketua KPAI Susanto dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR, kemarin.
Menurut Susanto, hal ini perlu dicermati sebelum membuka sekolah dan melakukan KBM secara tatap muka. Karena, dimungkinkan bahwa SMP dan SMA di zona hijau yang dibuka terlebih dulu.
Dia melanjutkan, yang perlu diperhatikan adalah sekolah yang berada di antara zona kuning dan hijau. Memang sejauh ini belum ada data soal jumlah sekolah yang berada di antara zona hijau dan kuning atau merah. Tetapi karena berdekatan, maka perlu menjadi perhatian soal potensi penularan yang bisa terjadi.
“Memang perlu data berapa satuan pendidkan yang ada di Indonesia sehingga harus dipetakan dan pembukaan sekolah harus hati-hati,” ujarnya.
Susanto menuturkan, anak-anak saat pandemi ini berada dalam situasi darurat. Meksipun bencana nonalam tetapi, kondisinya khusus sehingga diperlukan penyederhanaan kurukulum. Saat ini Kemendikbud sedang merancang upaya penyederhanaan kurikulum dan KPAI akan melihat kembali apa memang upaya penyederhanaan kurikulum ini sudah ramah untuk semua anak.
“Intinya dari berbagai usulan saat kpai menyelenggarakan rakornas muncul banyak usulan, agar penyederhaan kurikulum segera dilakukan sehingga guru tidak kebingungan. Dinas juga perlu punya acuan pasti untuk memantau,” pungkas Susanto.
Sebelumnya, Plt Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, Kemendikbud sedang menyiapkan kurikulum di masa pandemi sebagaimana yang direkomendasikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ada dua hal yang sedang disiapkan. Pertama adalah penyesuaian Kompetensi Dasar (KD) sehingga guru tidak terlalu berat dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah.
“Jadi misal SD kelas 3 itu kan ada sekitar 26 KD sekarang sudah kita integrasikan. Kita pilih yang paling esensial nanti akan menjadi sekitar 16 KD,” katanya beberapa waktu lalu.
Hamid menjelaskan, persiapan lain adalah modul-modul pembelajaran yang bisa dipakai siswa untuk belajar secara mandiri. Menurut Hamid, modul ini tidak sama isinya dengan buku pelajaran siswa akan tetapi lebih ringkas namun tetap berisi pembelajaran siswa yang efektif digunakan selama belajar mandiri.
ASS|*