Jakarta | Jurnal Inspirasi
Wabah virus Corona (Covid-19) telah ditetapkan menjadi bencana nasional. Kondisi ini pun memicu status force majeure (keadaan terpaksa/darurat) sehingga bisa dijadikan dasar bagi kontrak bisnis yang belum menjalankan kewajibannya karena dampak Corona. Sebelumnya, Jokowi meneken Keputusan Presiden atau Kepres Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional pada Senin (13/4).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengungkapkan, pengusaha akan beradaptasi terhadap sejumlah hal dalam menghadapi status baru ini. Salah satu yang menjadi bahan perhatian adalah potensi force majeure atau keadaan kahar pada beragam aspek perjanjian. Danang mengingatkan agar pengusaha bersiap terhadap beragam kemungkinan yang bakal timbul.
“Ini akan jadi salah satu yang perlu ditindaklanjuti dari dunia usaha, untuk bisa lakukan langkah-langkah strategis, misalnya proses penghentian operasional mereka. Hampir 90% sektor tertutup. Kemudian terdampak operasional mereka. Kecuali program-program industri yang masuk prioritas nasional, itu kan boleh (berjalan),” kata Danang, Selasa (14/4).
Banyak industri yang terkena dampak. Padahal, di sisi lain perusahaan memiliki kewajiban dalam biaya operasionalnya, bahkan tidak sedikit yang menggunakan fasilitas kredit dari Bank. Dalam kondisiforce majeure, apalagi ditambah dengan stimulus perbankan yang sudah diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka pengusaha bisa lebih leluasa.
“Keputusan OJK untuk relaksasi kredit kan bisa dimanfaatkan untuk melakukan negosiasi. Tapi intinya harus juga dipikirkan perbankan jangan kolaps karena semua (minta keringanan). Jadi jaga betul relaksasi kredit dunia industri dengan kemampuan perbankan yang harus dijaga keseimbangannya. Supaya jangan sampe efek domino Perbankan jadi kolaps,” sebut Danang.
“Harus seimbang antara industri yang punya kredit dan dunia perbankan. Harus balance. Intervensi pemerintah dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan melalui Menkeu harus perhatikan ada prudential bank, sehingga mereka juga nggak terguncang secara berat. Jadi kita harus liat dari banyak sektor dan perbankan,” lanjutnya.
Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Budi Darmono mengatakan karena force majeure dari kondisi darurat nasional itu hukumnya harus mengikuti. Kontrak bisa dijadikan alasan untuk tidak memenuhi kewajibannya.
Keadaan memaksa atau force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian/kontrak yang menghalangi salah satu pihak untuk memenuhi prestasinya/kewajibannya. Dalam keadaan, force majeure pihak yang tidak menjalankan kewajiban tidak bisa dinyatakan sebagai wanprestasi.
Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggoro, menilai langkah Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional tidak memiliki pengaruh yang berarti dalam penanganan wabah ini. Menurut Bayu, Kepres ini hanya untuk memberikan kepastian hukum pertanggungjawaban penggunaan segala fasilitas dan anggaran oleh Gugus Tugas Covid-19. “Setelah Kepres ini, sepertinya tidak akan ada perubahan besar pada bentuk penanggulangan yang telah berjalan selama ini,” ujar dia.
Bayu menduga penetapan status bencana nasional ini bertujuan untuk mempermudah sejumlah akses seperti tertera dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam pasal itu disebutkan, bilamana status darurat bencana ditetapkan, BNPB dan BPBD memiliki kemudahan atas sejumlah akses. Meliputi; pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik, imigrasi, cukai, dan karantina.
Selain itu, mereka memiliki kemudahan perizinan, pengadaan barang atau jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban uang atau barang, penyelamatan dan komando untuk memerintahkan sektor atau lembaga.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, semestinya Presiden Jokowi mengatur hal-hal yang lebih tegas di Kepres tersebut. Misalnya, kata dia, menentukan komando lapangan antar lembaga dan kementerian. Sehingga, tidak ada lagi kebijakan yang berbenturan dalam upaya penanganan Covid-19 ini. “Itu harusnya diatur dalam Kepres. Kalau tidak ya, berpotensi jalan sendiri-sendiri. Sehingga bisa kembali terulang seperti tabrakan Peraturan Menteri Perhubungan dan Menteri Kesehatan,” ujar Feri.
Namun Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyebut Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang mengatur tentang pandemi Covid-19 sebagai bencana sosial tak serta merta memengaruhi kontrak bisnis pemerintah. Keppres itu bersifat pemberitahuan tentang force majeur.
“Keputusan Presiden 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam karena menyebarnya Covid-19 itu tidak bisa secara otomatis dijadikan dasar untuk membatalkan atau menyimpangi kontrak-kontrak bisnis yang sudah dibuat sebelum keluarnya keppres ini,” kata Mahfud melalui rekaman video, Selasa (14/4).
Dia mengingatkan, keppres bersifat pemberitahuan tentang terjadinya keadaan terpaksa. Karena itu, terbitnya keppres dijadikan pintu masuk untuk renegosiasi mengenai kontrak bisnis yang dilakukan pemerintah.
Renegoisasi tersebut, kata Mahfud, tetap berpedoman pada ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini menyatakan, setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuat. “Jadi tidak bisa secara otomatis lalu ini membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini. Adapun mengenai campur tangan negara untuk meringankan pelaksaan kontrak akibat persoalan ekonomi yang sedang terjadi, Mahfud menekankan, hal tersebut sudah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut dia, OJK sudah mengatur tentang keringanan cara pembayaran, penundaan pembayaran, penundaan pembayaran bunga dan sebagainya. Negara menanggung hal tersebut. “Jadi jangan disalahkaprahkan tentang Keppres 12/2020 ini sebagai sesuatu yang secara otomatis bisa membatalkan kontrak-kontrak yang sudah dilakukan,” ucapnya.
Asep Saepudin Sayyev |*