31.4 C
Bogor
Friday, April 26, 2024

Buy now

spot_img

Perpres 44 Tahun 2020 Dinilai Lemahkan Tata Kelola Kelapa Sawit

Bogor | Jurnal Inspirasi

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) dinilai belum memadai untuk mendorong tata kelola kelapa sawit berkelanjutan dan daya saing.

Kaoem Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) menilai bahwa Perpres tersebut membuat proses penguatan ISPO yang dimaksudkan untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap
sistem sertifikasi dan standardisasi industri sawit berkelanjutan sempat berjalan secara partisipatif dan transparan, sejak Juni 2016 hingga September 2017.

Namun, setelah itu menjadi proses yang tertutup hingga diterbitkannya Perpres 44 Tahun 2020. Regulasi itupun l dinilai belum mengakomodir masukan organisasi masyarakat sipil (CSO) terkait perbaikan tata kelola industri sawit, penyelamatan lingkungan hidup, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Abu Meridian, perwakilan Kaoem Telapak mengatakan, apabila Pemerintah ingin memperkuat ISPO, seharusnya hal itu dilakukan dengan prinsip HAM dan ketertelusuran agar ISPO baru dapat diterima secara luas baik di pasar nasional maupun internasional.

Menurutnya, prinsip HAM dan Ketertelusuran merupakan masukan CSO pada konsultasi publik di beberapa tempat wilayah. Yakni, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua pada Mei sampai dengan Agustus 2017.

“Tidak diadopsinya HAM sebagai prinsip yang fundamental dalam Perpres 44 jelas merupakan langkah mundur. Terlebih, jumlah pelanggaran HAM yang terkait dengan praktik Industri sawit cukup besar di Indonesia,” jelas Abu.

Abu menyatakan, Perpres 44/2020 menghilangkan pengaturan mengenai pemantauan independen terhadap pelaksanaan sistem sertifikasi ISPO. “Ini jelas melemahkan kredibilitas sistem itu sendiri. Selain itu, Perpres 44/2020 tidak mengatur mekanisme pengajuan dan penyelesaian keberatan, yang merupakan salah satu indikator akuntabilitas sistem,” tambah Abu.

Hilangnya prinsip perlindungan hutan alam primer dan lahan gambut yang sebelumnya ada dalam Prinsip dan Kriteria ISPO juga mengisyaratkan visi dan ketidakseriusan Pemerintah dalam upaya perlindungan hutan dan gambut dalam kaitannya dengan industri sawit.

Siobhan Pearce dari EIA juga menyayangkan Perpres 24/2020 yang semestinya dapat memperbaiki standar dan kredibilitas sertifikasi ISPO yang dinilai sebagai yang terlemah di dunia malah terkesan tanggung. Ditambah lagi, peraturan pelaksana sistem sertifikasi ISPO lebih lanjut akan meliputi tentang standar, kelembagaan dan tata kelola, harus diterbitkan dalam waktu 30 hari setelah keluarnya Perpres (sampai dengan 16 April 2020).

Sehingga, sambung dia, nyaris tidak memungkinkan adanya proses konsultasi yang ekstensif dengan para pihak. Atas dasar itu, Kaoem Telapak dan EIA meminta proses jangka waktu penerbitan tidak dibuat terburu-buru yaitu dalam 30 hari.

Kaoem Telapak dan EIA menilai waktu yang diberikan sangat terbatas untuk menghasilkan peraturan pelaksana yang berkualitas dan menyerukan kepada pemerintah untuk segera membuka implementasi proses penyusunan kebijakan ini kepada
publik untuk mendapatkan masukan.

Siobhan menegaskan bahwa bila Indonesia memang serius untuk memperbaiki sistem sertifikasi ISPO sehingga dapat diterima pasar internasional, maka sistem ISPO baru haruslah memenuhi standar-standar kelestarian internasional dan praktik sertifikasi yang kredibel.

“Pemerintah harus memastikan proses penyusunan aturan pelaksana ISPO yang transparan dan melibatkan para pihak, yang menghasilkan standar ISPO baru yang robust dan mekanisme kredibel seta akuntabel,” pungkasnya.

Fredy Kristianto

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles