Jakarta | Jurnal Inspirasi
Badan Intelijen Negara (BIN) tak lagi dibawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, setelah diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 tahun 2020. Dalam fungsi koordinasinya, posisi BIN dalam kenegeraan dan pemerintahan Indonesia menurut Mantan Ketua Dewan Informasi Strategis dan Kebijakan (DISK) BIN, Dradjad H Wibowo, BIN diatur dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Dimana pada Pasal 27 memang bertanggungjawab kepada Presiden RI.
“Jadi BIN memang hanya di bawah koordinasi Presiden. Sementara produk intelijen BIN hanya untuk dilaporkan dan dipertanggungjawabkan ke Presiden. Wakil Presiden pun tidak berhak “cawe-cawe” sedikit pun terhadap BIN. Sekedar memanggil Kepala BIN dan jajarannya pun Wapres tidak punya kewenangan. Apalagi menteri koordinator,” jelas Dradjad dikutip dari Vivanews, Minggu (19/7).
Untuk diundang rapat oleh Wakil Presiden atau mungkin menteri koordinator, menurutnya bisa saja. Tapi BIN juga bisa menolaknya. Atau jika hadir tetapi memilih diam dan tidak ingin berbagi produk intelijennya, Dradjad mengatakan itu dibolehkan. Undang-undang yang membenarkan sikap seperti itu.
“Produk intelijen BIN itu hanya boleh diketahui Wapres, menko dan menteri lain jika diperbolehkan oleh Presiden,” lanjut Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Dalam fungsi koordinasi yang terjadi selama ini, Dradjad mengakui kalau BIN ada di Kemenko Polhukam. Tetapi secara yuridis atau hukum, aturan yang mengikat terhadap BIN seperti dalam UU Nomor 17 tahun 2011, tetap berlaku. “Jadi kalau sekarang BIN secara resmi tidak lagi di bawah Menko Polhukam, itu hanya menegaskan apa yang sudah diatur UU Nomor 17/2011,” katanya.
Peran BIN sebenarnya, tidak terbatas pada satu kementerian atau bidang saja. Tetapi di semua bidang, dia bisa dimanfaatkan. Dradjad mengatakan, dimana ada ancaman terhadap keamanan negara, maka BIN sudah wajib untuk turun melakukan penyelidikan, pengamanan hingga penggalangan. “Di tengah pandemi Covid-19 misalnya, BIN bisa masuk ke bidang kesehatan, farmasi, dan iptek yang terkait pandemi. Jadi tupoksi BIN memang tidak hanya di bidang pertahanan keamanan. Itu secara yuridis ya,” kata ekonom senior Indef itu.
Bahwa ada perubahan dimana BIN tidak masuk lagi dalam koordinasi Kemenko Polhukam, dia tidak mengetahui alasan real politiknya. Apakah ada persoalan tertentu dalam masalah koordinasi, Dradjad tidak tahu persis.
Perpres Nomor 73 itu menurutnya hanya mempertegas bahwa BIN tetap di bawah Presiden. Tapi kenapa kembali dipertegas dengan mengubah perpres sebelumnya, dia tidak mengetahuinya.
“Yang menjadi pertanyaan, secara real politik, kenapa sekarang hal di atas dipertegas? Apakah ada permasalahan dalam koordinasi BIN dengan Menko Polhukam? Atau ada menko lain yang ingin bisa memanggil BIN, padahal BIN bisa menolaknya? Atau ada masalah kepercayaan? Saya tidak tahu,” katanya.
Sementara secara spesifik salinan Peraturan Presiden yang baru menghapus lembaga BIN dari Koordinasi Kemenko Polhukam. Namun, belum diketahui juga status kedudukan baru organisasi mata-mata ini setelah tak lagi di bawah koordinasi Kementerian Polhukam atau langsung berada di bawah Kepala Negara. Sebagaimana tugas dan fungsi lembaga intelijen suatu negara, organisasi itu bukan lembaga publik melainkan hanya melayani single client yaitu Presiden, dalam kerja-kerja mereka.
Poin yang berubah lainnya ada di pasal 11. Yakni, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri yang ada di Kemenko Polhukam dipersempit menjadi koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu di bidang politik dalam negeri serta pengendalian pelaksanaan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait dengan isu di bidang politik dalam negeri.
Perpres itu terbit 3 Juli 2020 dengan merevisi Perpres Nomor 43 Tahun 2015. Perpres lama tentang Kemenpolhukam sebelumnya mengoordinasikan 10 lembaga. Yakni, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kejaksaan Agung, BIN, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
ASS |*