Jakarta | Jurnal Inspirasi
Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dilakukan setiap lima tahun sekali, mendapat kritik dari mantan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Ia mengatakan pembahasan RUU Pemilu terkesan hanya untuk mengakomodasi kepentingan sejumlah partai politik.
Hal tersebut diungkapkan Din dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR, Rabu (1/7). “Muncul suudzon bahwa pembahasan demi pembahasan RUU Pemilu yang selalu direvisi per lima tahun, lebih banyak untuk parpol-parpol melanggengkan posisinya,” ujarnua.
Seharusnya, revisi UU Pemilu merupakan bagian dari konsolodasi demokrasi. Jika dilakukan hanya untuk kepentingan parpol, ia menilai akan banyak yang kecewa dengan keputusan tersebut. “Kami berharap UU Pemilu ini merupakan bagian yang bersifat instrumental dalam konsolidasi demokrasi, karena memang sebagi pengantar,” ujar Din.
Untuk itu, ia meminta adanya kesamaan visi dan misi dari DPR terkait UU Pemilu. Dengan demikian, regulasi tersebut dapat berlaku dalam jangka panjang untuk mengakomodasi demokrasi yang lebih baik.
Dia berharap demokrasi tak hanya menjadi ritual politik lima tahunan, melainkan menjadi salah satu instrumen dalam mewujudkan keadilan sosial. “Demokrasi harus bersifat instrumental, tak hanya ritual politik. Instrumental untuk mewujudkan keadilan sosial,” ujar letua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) itu.
Ia juga mengusulkan adanya omnibus law sistem politik di Indonesia. Di mana nantinya, menggabungkan sejumlah undang-undang, seperti UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Partai Politik. “Saya terus terang ketika membaca 700-an pasal (RUU pemilu), tebal sekali ya. Kenapa tidak diusulkan saja semacam omnibus law politik,” ujar Din.
ASS|*