jurnalinspirasi.co.id – Forum Komunitas Petani Terkonsolidasi Tunas (FKPT) Kabupaten Bogor menyayangkan jerat hukum terhadap Joni Sriwasono atau JS, satu seorang peternak rakyat di Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa timur. Ketua Kelompok Tani Ternak Ngudi Rejeki Kecamatan Ngadiluwih itu divonis 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Tipikor Surabaya pada 7 November 2025.
Humas FKPT Kabupaten Bogor, Fikri Muhammad menyebut, vonis penjara terhadap anggota Alumni Sekolah Peternak Rakyat Indonesia (SASPRI) ini sebagai bentuk kriminalisasi. Untuk seluruh anggota SASPRI mengecam dan menyatakan rasa duka mendalam atas kasus yang menimpa JS.
Fikri menceritakan, JS didakwa telah menghilangkan hewan ternak sapi dari pelaksanaan Program Desa Korporasi Sapi (DKS) Tahun Anggaran 2021. DKS adalah sebuah program pemerintah pusat yang bertujuan memperkuat peternakan rakyat berbasis kelompok di pedesaan.

“Kami meminta JS diperlakukan secara adil. Kasus yang menimpa JS ini janggal. Karena ternak masih dipelihara dan tidak ada aset negara apapun yang hilang, ” ucap Fikri kepada Jurnal Bogor, Minggu (21/12/2025).
Sebagai bentuk solidaritas dan upaya mencari keadilan, pada hari Rabu, 17 Desember 2025 lalu, para peternak rakyat bersama perwakilan SASPRI menggelar aksi unjuk rasa damai di depan Kantor Bupati Kediri. Aksi tersebut diikuti oleh peternak, koordinator lapangan, serta tokoh pendamping, dan berlangsung tertib tanpa tindakan anarkis.
Dalam aksi, para peternak menyampaikan aspirasi agar pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Kediri memfasilitasi penyelesaian kasus, melakukan peninjauan kebijakan, serta mencegah kriminalisasi peternak sebagai pelaksana program negara. Namun hingga aksi berakhir, tidak ada pimpinan daerah maupun perwakilan DPRD yang menemui massa aksi.
“Tapi kami kecewa kepada pimpinan daerah, terutama Bupati dan anggota DPRD Kediri yang tak menerima perwakilan pengunjukrasa,” kata Ketua Bidang Kemitraan Bisnis FKPT Kabupaten Bogor itu.
Aspirasi peternak hanya tersampaikan di ruang publik tanpa dialog langsung dengan pengambil kebijakan. “Aksi ini jadi seperti monolog. Kami bicara, tapi negara belum menjawab,” ujar Fikri.
Para peternak menyebut, kasus yang menjerat JS bukan sekadar persoalan individu, melainkan cerminan lemahnya sistem pelaksanaan program pemerintah di lapangan.
Jadi, kata dia, program dilepas tanpa pendampingan yang memadai, namun saat muncul persoalan, peternak kecil justru berhadapan dengan proses hukum.
Alumni Universitas Pakuan (Unpak) Bogor bidang ekonomi dan manajemen itu menegaskan, peternak tidak menolak hukum. Mereka hanya menuntut keadilan yang lebih melihat fakta lapangan, niat baik, serta keterbatasan yang dihadapi peternak kecil.
Meski tidak ditemui pejabat, menurutnya, aksi damai ini disebut sebagai bentuk ikhtiar terakhir yang bermartabat. Para peternak berharap negara mau membuka ruang dialog dan tidak menutup mata terhadap persoalan yang mereka hadapi.
“Yang kami minta sederhana, didengar, dipahami, dan diperlakukan secara adil,” pungkas dia.
(Arihta US)

