Jurnal Bogor – Konflik agraria antara petani penggarap dan pihak perusahaan di Kampung Leuwisapi, Desa Lemah Duhur, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, kembali memanas. Para petani yang tergabung dalam Kerukunan Tani Cimande (KTC) resmi memberikan kuasa kepada Watch Relation Of Corruption Pengawas Aset Negara Republik Indonesia (WRC PAN-RI) untuk memperjuangkan hak mereka yang dianggap terancam.
KTC bersama WRC PAN-RI mendesak Menteri ATR/BPN Nurson Wahub untuk mengevaluasi kinerja Kepala BPN Kabupaten Bogor, yang dinilai tidak transparan dalam proses penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) terkait lahan sengketa.
Ketegangan bermula saat perusahaan memasang plang kepemilikan di atas lahan garapan petani dengan mencantumkan nomor HGB No. 182, 183, 184, dan 170, disertai surat permintaan pengosongan lahan. Para petani mengaku telah menggarap lahan tersebut secara turun-temurun, sehingga langkah itu dianggap sebagai bentuk pengusiran halus yang meresahkan.
Ketua Umum WRC PAN-RI, Ari Chandra, menilai proses pengajuan SHGB oleh BPN Kabupaten Bogor sarat kejanggalan. Ia menduga adanya mal-administrasi pada penguatan dokumen fisik, riwayat tanah, hingga keterangan bahwa lahan tidak dalam sengketa, yang dinilai tidak sesuai kondisi lapangan.
“Permintaan pengosongan itu terlalu tergesa-gesa. Lahan tersebut secara fisik masih dikuasai para petani. Kami mendesak BPN dan Tata Ruang Kabupaten Bogor mengevaluasi ulang persyaratan SHGB tersebut,” tegas Ari Chandra kepada awak media, Sabtu (22/11/25).
Ia juga meminta Menteri ATR/BPN turun tangan dan mengambil tindakan tegas atas dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan BPN Kabupaten Bogor agar petani tidak semakin dirugikan.
Upaya mediasi sebelumnya telah dilakukan di aula Kantor Desa Lemah Duhur antara pihak perusahaan, KTC, WRC PAN-RI, dan Kepala Desa Lemah Duhur, Ujang Nazmudin. Namun pertemuan itu belum menghasilkan kesepakatan, karena pihak perusahaan belum dapat menunjukkan legalitas SHGB yang diminta masyarakat dan WRC PAN-RI.
“Legalitas SHGB dipegang oleh pihak legal perusahaan. Legal to legal yang akan bertemu dalam pembahasan lebih lanjut,” ujar Ajeng, perwakilan perusahaan.
Sementara itu, Kepala Desa Lemah Duhur, Ujang Nazmudin, menjelaskan bahwa perusahaan memperoleh lahan tersebut dari beberapa pemilik sebelumnya yang telah mengantongi sertifikat. Namun di atas lahan itu terdapat petani penggarap yang sudah lama bercocok tanam.
“Pihak perusahaan memegang SHGB yang berasal dari over-alih pemilik sertifikat sebelumnya seperti Putirai Yohara, Ganjar, Irvan, Tony, hingga Santo. Petani juga tahu bahwa mereka hanya menggarap lahan itu, bukan pemiliknya,” jelas Ujang.
Ia menegaskan, pihak desa tidak dapat mengeluarkan surat garapan bagi para petani karena secara administrasi lahan tersebut telah bersertifikat SHGB.
Konflik ini diperkirakan berlanjut karena kedua belah pihak masih bersikukuh mempertahankan klaim masing-masing, sementara petani berharap pemerintah turun tangan untuk memberikan kepastian dan keadilan atas lahan yang telah menjadi sumber penghidupan mereka selama bertahun-tahun.

