jurnalinspirasi.co.id – Isu sumur warga Ciherang dan sekitarnya mengering akibat operasional Pabrik AQUA Ciherang sejak 2011 kembali ramai di media sosial. Namun penelusuran lapangan, dokumentasi program air bersih, serta kesaksian warga menunjukkan kondisi berbeda. Sejumlah ahli hidrogeologi juga menegaskan bahwa penurunan muka air tanah di suatu daerah aliran sungai tidak bisa disimpulkan berasal dari satu aktivitas saja.
Jumlah sarana air bersih (SAB) yg dibantu Pabrik AQUA Ciherang ada 12 SAB yang berlokasi di Desa Ciherang Pondok dan Ciderum dengan jumlah penerima manfaat: 1.733 KK atau 7.110 Jiwa.
Kepala Desa Ciherang Pondok Aldo Wiharsa berterimakasih atas bantuan Prasarana Air Bersih dari Pabrik Aqua Ciherang dan membantah isu adanya kekeringan air yang disebabkan oleh keberadaan Pabrik Aqua Ciherang.
Tokoh masyarakat Ciherang, Asep, mengatakan sumur dangkal 6–12 meter memang kerap turun debitnya saat kemarau jauh sebelum pabrik beroperasi. “Dari dulu kalau kemarau panjang, sumur lama cepat kering. Setelah ada pabrik, justru kami dapat bantuan sarana air bersih,” ujarnya.
Siti, warga Cisalopa, menyebut fasilitas air bersih dari program CSR sangat membantu. “Kami tidak merasakan penurunan air setelah pabrik berdiri. Yang ada justru titik air bersih baru untuk banyak keluarga,” katanya.
Yeny Handayani, warga Batu Kembar, juga mengaku manfaatnya nyata: “Alhamdulillah airnya bersih dan lancar.”
Ketua RT 04 RW 07 Batu Kembar, Anda Suhanda, menegaskan isu kekeringan tidak sesuai fakta. “Sebelum ada Aqua air sangat susah. Sekarang jauh lebih mudah. Jadi isu itu tidak benar,” ujarnya.
Ketua RT 02 RW 07, Engkos Kosasih, menyampaikan hal serupa dan menilai kontribusi pabrik lewat sarana air bersih, bantuan ke masjid, serta dukungan sosial lainnya sangat dirasakan warga. “Alhamdulillah sarana air bersih lancar,” katanya.
Para ahli hidrogeologi menekankan industri air minum dalam kemasan tidak dapat mengambil air sembarangan tanpa kajian ilmiah dan pengawasan ketat. Ahli hidrogeologi UGM, Heru Hendrayana, menjelaskan bahwa penentuan titik pengambilan air harus berbasis riset mahal dan komprehensif. Industri AMDK memilih akuifer vulkanik dengan cadangan besar dan kualitas baik, bukan wilayah dengan pasokan terbatas.
“Kalau pengelolaan air tanah tak sesuai kapasitas imbuhannya, dampaknya bisa serius,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa air pegunungan berasal dari sistem akuifer vulkanik yang berbeda dari sumur dangkal.
Dosen hidrogeologi ITB, Prof. Lilik Eko Widodo, menambahkan setiap titik pengambilan air industri harus dihitung secara ilmiah dan mengikuti grand design tata kelola air tanah.
“Yang penting bukan sekadar mengambil air, tapi memastikan sistemnya tetap berfungsi,” katanya.
Peneliti BRIN, Ananta Rangga, menekankan pentingnya riset jangka panjang karena karakter akuifer berbeda di tiap wilayah. Menurutnya, kolaborasi pemerintah, peneliti, dan industri penting untuk menjaga keberlanjutan.
“Selama perusahaan mengikuti riset dan izin resmi, sistemnya bisa tetap berkelanjutan,” ujarnya.
(yev/rls)

