Jurnal Bogor – Di balik hamparan perbukitan hijau Tamansari, berdiri sebuah kebun kecil yang penuh kehidupan. Namanya Strawberry Rancage. Di tempat ini, ribuan daun strawberry meneduhkan tanah yang tak pernah kehilangan harap. Kebun itu dirawat oleh tangan seorang pemuda bernama Irfan, warga Desa Sukajadi, yang tiga tahun lalu harus memulai segalanya dari awal.
Sebelum menjadi petani, Irfan adalah seorang tukang jahit. Jarum dan mesin jahit menjadi kesehariannya. Namun pandemi Covid-19 mengubah arah hidup. Pelanggan mulai sepi, dan pendapatan kian menurun. Dalam kebingungan mencari jalan baru, Irfan memutuskan mencoba bercocok tanam strawberry, tanaman yang waktu itu hanya ia tahu dari pasar dan toko buah.
“Awalnya saya benar-benar belajar dari nol. Tidak tahu cara tanam, tidak tahu cara rawat. Tapi saya yakin harus coba,” kenangnya. Ia tersenyum kecil, seolah mengingat masa-masa penuh perjuangan, Senin (10/11/25).
Dengan luas lahan sekitar 300 meter persegi, Irfan menanam 3.000 pohon strawberry. Setiap tangkai, setiap daun, setiap buah yang tumbuh seakan menjadi bab baru dalam perjalanan hidupnya. Yah, kebun ini bukan sekadar kebun, ia adalah guru, sekaligus harapan.
Hasilnya kini tak lagi main-main. Dari kebun tersebut, Irfan mampu memanen 30 hingga 80 kilogram strawberry per bulan. Tidak hanya menjual buah segar, ia juga memproduksi bibit dan membuka paket edukasi pertanian. Kampus-kampus seperti IPB, Universitas Pakuan, hingga Universitas Pancasila pernah mengirim mahasiswanya untuk belajar dan melakukan penelitian. Bahkan anak-anak TK dan PAUD datang untuk merasakan pengalaman memetik buah langsung dari pohonnya.
“Kalau pas musim liburan, ramai sekali. Sebulan bisa sampai 500 orang datang ke sini,” ujarnya sembari menunjuk deretan tanaman yang berbuah merah cerah.
Harga buah pun terjangkau. Pada hari biasa, strawberry dijual Rp 80.000 per kilogram. Sementara akhir pekan, pengunjung dapat menikmati sensasi petik sendiri dengan harga Rp 100.000 per kilogram. Paket edukasi Rp 10.000 hingga Rp25.000, termasuk bibit dan buah yang bisa dipetik langsung.
Jenis strawberry yang ditanam pun beragam: Sagahonoka yang menjadi favorit, Seolhyang dari Korea, California, Jumbo Bali, hingga varietas lokal seperti Mencir. Bibit pohon berbuah dijual Rp5.000 hingga Rp 10.000, tergantung jenisnya.

Meski terlihat indah, merawat strawberry bukan tanpa tantangan. Kelembaban media tanam harus dijaga, daun tua harus dipangkas rutin, dan pemupukan tidak boleh terlambat. Media tanam yang digunakan adalah tanah yang dicampur sekam bakar dan pupuk kandang resep sederhana yang ia dapatkan dari para petani senior dan percobaan berulang.
“Bertani itu yang penting sabar. Kita rawat dulu, baru hasilnya mengikuti,” ucapnya pelan.
Kini Strawberry Rancage bukan hanya kebun. Ia adalah ruang belajar. Ruang tumbuh. Ruang untuk kembali berharap.
Dalam hening kebun yang dipeluk udara sejuk Tamansari, Irfan telah menumbuhkan lebih dari sekadar buah, ia menanam keberanian untuk memulai kembali. Yudi

