Oleh: Herry Keating
(Wartawan Jurnal Bogor)
jurnalinspirasi.co.id – Awal November 2025, panggung politik ekonomi nasional kembali diguncangkan pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di depan Anggota Komite IV DPD RI yang membidangi APBN, pajak, perimbangan keuangan pusat dan daerah, lembaga keuangan mikro, kecil dan menengah termasuk memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan BPK RI.
“Mari kita kaya bersama, itu tujuan kita. Kalau kaya sendiri, dia sudah kaya, dia sudah kaya. Tapi kan sebagian besar masyarakat kita nggak begitu. Itu bukan keberhasilan kita kalau kita cuma bikin kaya sebagian orang. Jadi tujuan kita adalah memaksimalkan uang yang kita ada, policy yang kita ada, kekuatan ekonomi dan politik yang kita ada, untuk memakmurkan masyarakat kita,” kata Purbaya seolah jadi mantra di hadapan Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung dan Anggota Komite IV DPD RI, Senin 3 November 2025.
Pernyataan ini seolah memukul para politikus mandiri (main sendiri) yang kini menghuni DPD RI. Tanpa partai hanya berbasis konstituen namun memiliki kekayaan fantastis. Itu terlihat dari para senator DPD yang menyampaikan aspirasi saat berdialog dengan Purbaya. Tamsil Linrung dikenal sebagai politikus PAN di Pemilu 2004, lalu pindah ke PKS hingga bercerai pada 2019 lalu menjadi politikus mandiri.
Mantra menjadi kaya ala Purbaya juga seakan memukul para pejabat yang tanpa malu ingin memperkaya diri sendiri untuk berbagai tujuan. Padahal pejabat tak perlu menjadi kaya sudah dicontohkan para pendiri Republik Indonesia. Kisah Mohammad Hatta yang tak mampu membeli sepatu Bally hingga akhirnya hanya menyimpan poster sepatu Bally di balik dompetnya. KH Agus Salim yang juga tak mampu membayar listrik rumahnya dan tak mau mengganggu tokoh bangsa lainnya untuk meminta bantuan. Masih banyak contoh pendiri negara yang memilih hidup sederhana daripada mengejar kekayaan selain dua tokoh di atas.
Berbanding terbalik dengan pejabat saat ini yang justru berlomba-lomba menumpuk kekayaan. Mantan Kepala Badiklat Mahkamah Agung Dr. Zarof Ricar, SH, S.Sos, M.Hum yang ditangkap Kejagung dan ditemukan uang hampir Rp 920 miliar dan 51kg emas yang disimpan di rumahnya. Satu contoh pejabat yang memperkaya diri sendiri.
Mantra menjadi kaya ala Purbaya ini memang masih sebatas mantra. Dalam KBBI mantra dijelaskan sebagai susunan kata puitis berima yang memiliki kekuatan mistis dan gaib. Lho kok gaib? Karena baru sebatas pernyataan belum jadi kenyataan meskipun secara psikologis mantra-mantra Purbaya sering dilontarkan di publik dalam berbagai kesempatan.
Bahkan karena mantra Purbaya dalam Sarasehan Ekonomi di hadapan Presiden Prabowo dan semua pejabat perekonomian dihadiri para pegiat ekonomi pada 8 April 2025 mampu menghipnotis presiden hingga akhirnya diangkat menjadi menteri keuangan menggantikan Sri Mulyani. Hanya Purbaya yang memberi data dan pemaparan optimistik menghadapi geliat ekonomi Tanah Air di tengah goncangan ekonomi dunia.
Dengan mantra Purbaya yang optimistik menghadapi ekonomi dunia berhasil menghipnotis Presiden Prabowo. Sajian datanya bahkan diambil sejak 1980an, krisis moneter 1997 dan 1998 hingga siklus 10 tahunan yang terjadi di 2008 dan berujung saat pandemi 2020-2021.
Mantra Purbaya dengan kekuatan magis data ekonomi percaya diri bahwa ekonomi Indonesia tidak perlu bergantung pada suntikan modal asing atau investor. Ekonomi Indonesia sendiri sudah mampu bergerak sendiri dan akan mampu menarik investasi lebih besar jika pengelolaan ekonomi dalam negeri sudah lebih baik.
Mantra kaya Purbaya saat ini memang baru sebatas mantra kekayaan. Namun dengan analisa dan data ekonomi yang sudah dikerjakan puluhan tahun telah berhasil menarik optimisme publik Tanah Air. Meskipun belum menunjukan pencapaian target signifikan pertumbuhan ekonomi yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja dan membuat kaya rakyat Indonesia.
Namun mantra Purbaya telah berhasil menunjukan indikasi pergerakan ekonomi selama 2 bulan terakhir sejak menjabat menteri keuangan awal September 2025. Fresh money yang selama ini mengendap di Bank Indonesia sudah dipindahkan ke bank-bank Himbara dengan nilai bervariasi dengan total kucuran uang sebesar Rp 200 triliun. Tujuannya meningkatkan likuiditas sistem perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Buktinya Bank BRI sudah mampu menyalurkan penempatan dana pemerintah sebesar Rp55 triliun. Kucuran kredit oleh Bank BRI disalurkan untuk kredit pertanian, perdagangan, UMKM dan pembiayaan program pemerintah dengan total pembiayaan Rp1.416,6 triliun dengan pertumbuhan 6,0% YoY di akhir Triwulan II 2025. Dengan total kredit melalui KUR UMKM mencapai Rp1.137,84 triliun atau setara 80,32% dari total portofolio pembiayaan BRI.
Bahkan mantra Purbaya juga sudah mulai menggeliatkan ekonomi pemerintah daerah yang ternyata ada yang sengaja menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito dengan nilai triliunan. Mantra Purbaya ini yang kemudian mengungkap ada APBD Pemprov Jabar yang disimpan dalam bentuk giro di perbankan dan Pemprov DKI terbukti menyimpan uang senilai Rp14 triliun dalam bentuk deposito. Ada juga Gubernur Kalsel yang mengaku menyimpan APBD dalam bentuk deposito di perbankan.
Mantra Purbaya bermaksud agar dana di perbankan segera dikucurkan ke tengah masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan non fisik sebagai pemantik pertumbuhan ekonomi.
Betul bahwa APBN/APBD hanya pemantik yang nilainya 10 persen dari geliat perekonomian. Namun dengan 10 persen ini diyakini secara ekonomi mampu menggerakkan efek bola salju yang membesar dan menggelembungkan ekonomi makro. Jika pemda tidak mampu menggunakan anggaran untuk menjalankan program pemerintah, Purbaya kembali mengeluarkan mantra.
“Kalau nggak dipakai, akan saya tarik dananya untuk saya alokasikan ke sektor produktif lain,” kata Purbaya.
Lantas bagaimana dengan pengelolaan anggaran di pemerintah daerah? Di Kabupaten Bogor misalnya, ada kebijakan tidak mengeluarkan uang muka dalam pelaksanaan program dan proyek pembangunan pemerintah. Sasusnya bertujuan agar proyek pemerintah dijalankan oleh kontraktor yang punya modal. Tapi apakah kebijakan ini sudah sejalan dengan mantra Purbaya? Apalagi sasus terakhir, pekerjaan sudah lebih dari 50 persen dan tagihan progres susah cair, entah oleh birokrasi atau karena memang kinerja pejabatnya kurang gercep dalam menyerap anggaran.
Meskipun begitu, mantra Purbaya ini harus juga menyentuh ke level tata kelola anggaran di daerah. Dengan memastikan penyerapan anggaran tepat waktu, tepat sasaran dan tepat guna. Pengelolaan keuangan daerah jelas menjadi backbone pertumbuhan ekonomi nasional. Ritual Purbaya dalam membongkar adanya penyimpanan anggaran di perbankan pasti sudah memicu kesadaran kepala daerah untuk menggunakan anggarannya sebagai pemantik mengayakan atau memakmurkan rakyat di daerah.
Saat ini harus disadari kenyataan kepala daerah dalam menggunakan anggaran masih belum memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efisiensi, efektivitas, keadilan, berkeadilan dan disiplin anggaran. Prinsip pengelolaan anggaran ini yang musti terus ditekan dilaksanakan Purbaya di tingkat daerah. Problem sumbatan birokrasi dalam penyerapan anggaran. Tumpukan aturan yang menyulitkan pelaku UMKM mendapat kemudahan dan netralitas aturan. Ini juga musti jadi perhatian Purbaya bersama jajarannya.
Mantra Purbaya baru akan terasa 6 bulan ke depan. Apalagi target pertumbuhan ekonomi Presiden Prabowo 8%. Optimisme Purbaya mampu mencapai target itu di 2028. Meskipun bisa jadi lebih cepat dari prediksinya secara ekonomi berdasar survei dan sensus BPS. Target pertumbuhan juga akan nampak di akhir tahun 2025 apakah mantra-mantra Purbaya yang diiringi dengan ritual kebijakan moneter dan fiskal akan sesuai dengan roadmap yang sudah tersaji dalam kitab primbon begawan ekonomi dunia. Kita akan saksikan dan rasakan bersama dampaknya pada kantong dan isi rekening bank yang saat ini masih kembang kempis. Apakah mantra-mantra Purbaya untuk kaya bersama seluruh lapisan masyarakat Indonesia secara proporsional akan terbukti? Tetaplah bekerja, berkarya dan berharap. Harapan yang akan membawa kemajuan dan optimisme kehidupan lebih baik seperti mantra Purbaya.
(**)

