Jurnal Inspirasi – Program televisi “Xpose Uncensored” di Trans 7 menuai kritik dari kalangan pesantren. Tayangan yang menampilkan potret kehidupan pesantren itu dinilai menyajikan gambaran yang tidak utuh dan sarat bias.
Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) GP Ansor Kecamatan Tamansari, Fahmi Fadilah, menilai program tersebut justru menggiring opini publik dengan menampilkan pesantren sebagai lingkungan yang mistis, tertutup, dan feodal. Padahal, menurutnya, pesantren merupakan ruang tempat nalar, moral, dan spiritualitas berpadu membentuk karakter luhur bangsa.
“Kritik yang diucapkan tanpa memahami nilai-nilai dasar pesantren hanyalah bentuk lain dari kesombongan intelektual. Media boleh saja merekam dengan kameranya, tapi kejernihan dalam melihat kebenaran tidak bisa dibeli di pasar modernitas,” ujar Fahmi dalam keterangan tertulis, Kamis (16/10/25).
Fahmi juga menilai, cara pandang media dalam menyoroti hubungan antara kiai dan santri telah disalahartikan. Tayangan itu menggambarkan kiai sebagai figur dominan dan santri sebagai pihak yang tertindas. Padahal, relasi keduanya, kata Fahmi, berlandaskan pada adab, pengabdian, dan pendidikan jiwa, bukan pada struktur sosial yang menindas.
“Kharisma seorang kiai lahir bukan dari kekuasaan, tapi dari legitimasi moral dan spiritual yang tumbuh secara alami. Menilai pesantren lewat kacamata politik modern adalah bentuk penyempitan makna,” tambahnya.
PAC GP Ansor Tamansari menilai ada tiga penyebab utama mengapa kritik dalam tayangan tersebut tidak tersampaikan dengan baik, yakni ketimpangan pengetahuan (epistemic gap), kelemahan metodologis (methodological failure), dan ketimpangan ruang bicara (voice imbalance).
Menurut Fahmi, media modern cenderung melihat pesantren dari luar tanpa memahami nilai-nilai internalnya. Selain itu, santri dan kiai juga tidak diberi ruang yang cukup untuk menjelaskan makna di balik tradisi yang hidup di lingkungan pesantren.
Ia menegaskan, pesantren hingga kini masih menjadi benteng terakhir moralitas dan nilai kebangsaan, di tengah runtuhnya berbagai lembaga sosial akibat arus pasar dan kepentingan politik. Karena itu, ia meminta media untuk lebih berimbang dan empatik dalam menyoroti isu-isu keagamaan.
“Kami menolak segala bentuk pandangan yang menjadikan pesantren sekadar objek tontonan dan eksploitasi media. Kritik boleh, tapi harus disampaikan dengan santun dan berlandaskan pengetahuan,” tegasnya.
PAC GP Ansor Tamansari juga membuka ruang dialog bagi pihak media untuk berdiskusi dan memahami tradisi pesantren secara lebih mendalam. Fahmi menutup dengan pesan reflektif:
“Siapa pun yang mencoba menggambarkan pesantren tanpa memahami cahaya ilmunya, sesungguhnya hanya sedang memantulkan bayangan dirinya sendiri.”. Yudi