28.1 C
Bogor
Saturday, November 23, 2024

Buy now

spot_img

Perspektif  “Slepet-nomic”: Core Value Koperasi Indonesia

Jurnalinspirasi.co.id –  Menarik membaca postingan Slepet-nomic yang dilontarkan ide dan konsep dasarnya oleh Prof Didin S Damanhuri, yang sempat viral di media sosial. Saya tertarik memberikan respons, sehingga lebih terang ke arah mana cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangasa dan bernegara kita. Apakah salah jalan (sesat) dan atau kita berada pada jalan yang benar (on the track)?

Tulisan “Slepec-nomic” ini sesuai dengan sebagian konten disertasi saya, studi pada masyarakat nelayan artisanal (coastal fishery) di Barelang, Kepulauan Riau, fokus studi saya tata kelola sumberdaya pesisir berbasis kearifan lokal  (local wisdom) seperti sistem kelembagaan Kelong pada masyarakat pesisir, sebenarnya itu bagus (best practices), akan tetapi terabaikan dalam proses pembangunan (modernisasi perikanan tangkap).

Ekonomi masyarakat tradisional berbasis kearifan lokal (local wisdoms) berkontribusi dalam 2 aspek atau dimensi yaitu (1) keberlanjutan, pelestarian atau konservasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil terpelihara dengan baik dan lingkungannya yang sehat (sustainable fisheries development) dan (2) pemerataan dan keadilan sosial (social equity and justice).

Hal ini dalam pola interakasi sosial masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang hidup rukun, damai dan harmoni. Mereka mau hidup berbagi hasil tangkapan ikan yang dipungut di perairan laut hak milik bersama (common propeerty right) seperti yang terjadi di Ambon adanya sistem kelembagaan Sasi Laut etc.

Menurut pendapat saya terjadinya ketimpangan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, yang ditunjukan oleh tingginya angka gini ratio sebesar 0.38 sd 0.42. Hal ini mengindikasi kehidupan masyarakat dalam aspek pendapatan keluarga (household income)dan hak kepemilikan aset pribadi (private property right) serta akses terhadap sumberdaya alam dan ekosistemnya semakin menurun bahkan menghilang (punah), akibat dipraktekannya sistem ekonomi kapitalistik, individualistik dan liberal, sehingga mengeksploitasi sumberdaya milik umum (common property natural resouce). Karena regim yang berkuasa lebih cenderung memberi akses dan kesempatan berinvestasi kepada private coorporate, yang nama aktornya oligarki.

Ekonomi sistem kapitalistik dan neoliberalisme inilah yang merupakan faktor penyebab utama terjadi kemiskinan, pengangguran tinggi yang berujung pada ketimpangan dan kesenjangan sosial yang amat tinggi (lampu merah, indeks gini ratio rata-rata 0.4. Kemudian pertumbuhan ekonomi melambat, dan 5 tahun terakhir tetap dibawa 5 persen, maknanya kondisi perekonomian nasional masih terkategori “midle income trap”, jika tidak ada terobosan kreatifitas dan inovasi, menurut Prof.Didin S Damanhuri, tahun 2024 Indonesia termasuk negara yang gagal (fail state) dalam mensejahterakan rakyatnya, yang berkeadilan dan berkemakmuran bersama, bukan kemakmuran orang perseorangan sebagaimana terjadi gejala sosialnya saat ini, zaman Now.

Hal ini terjadi akibat public policy dan regulasi perekonomian nasional yang dipraktikan rezim Jokowi, bias konstitusi negara RI UUD 1945 khususnya pasal 33 dan pasal 34 (bab Kesejahteraan Sosial) diabaikan dan atau sengaja ditabrak, akibar kuatnya cengkraman penguasa besar (oligarky).

Mereka segelintir oligarki sudah ikut bermain dan mewarnai serta menentukan public policy dan regulasi ekonomi negeri ini.  Hal ini akibat demokrasi langsung, liberal dan padat modal (high cost) untuk bisa ikut peserta Pemilu (Pileg, Pilpres dan Pilkadal) untuk menduduki singgasana Kekuasaan, jabatan publik di negeri ini.

Beberapa contoh dampak pemilu berbiaya tinggi (melanggar bunyi Sila ke 4 Pancasila) yang secara kasat mata lahirlah  UU Omnibuslaw Cipta Kerja, yang ditentang kaum buruh, tapi gagal sehingga UU ini diplesetkan UU Cilaka, karena menyebabkan malapelata bagi kehidupan buruh. Salah satu substansi UU “Cilaka” tersebut adalah..”karpet merah buat oligarki, sedangkan buruh adalah keset, alas kakinya. “. Yang ada dalam regulasi tersebut diskriminasi policy, bukan affirmatif policy terhadap ekonomi kerakyatan, small entreprice di sektor pertanian, kerajinan dan usaha jasa-jasa lain yang dikelola rakyat banyak di perdesaan, termasuk sektor informal di kawasan perkotaan.

Demikian pun UU IKN, UU Minerba, UU Kesehatan dll, sangat kental sekali kontennya pro oligarki, kapitalisme, bahkan pro asing dan aseng. Berbagai UU yang disyahkan dan diberlakukan pada masa periode kedua kekuasaan Presiden RI Jokowi, dapat disimpulkan bahwa sekarang masa keemasan perekonomian oligarki, dan memarginal ekonomi kerakyatan, KUKM-Kop berbasis usaha bersama (badan usaha Koperasi) umtuk meraihkan kemakmuran bersama rakyat sebesar-besarnya (bagian penjelasan pasal 33 UUD 1945 asli yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945).

Sistem perekomian nasional kita, Indonesia yang seharusnya menterjemahkan falsafah dan ideologi Pancasila, serta konstitusi negara UUD 1945, praktis diabaikan.

Lihat saja pada dokumen visi dan misi Capres RI pada pemilu pilpres thn 2019, dan pemenang pilpresnya pasangan Capres dan Cawapres RI bpk Joko Widodo-KH Makruf Amin, hampir tidak ada (nihil) dibicarakan atau dalam bentuk tertulis dalam dokumen Nawacitanya yaitu membangun perekonomian nasional berbasis  Badan Usaha Koperasi. Dan Koperasi Indonesia sebagai soko guru perekonomian nasional praktis terlupakan, alias tidak masuk dalam mindset para elite politik negeri ini yang tengah berkuasa.

Padahal Sistem Ekonomi Koperasi sebagaimana dicetuskan oleh proklamator RI dan Bapak Koperasi Indonesia bpk Dr.Muhammad Hatta, Wapres RI pertama, Koperasilah yang sesuai dengan akar budaya bangsa (tradisional, local wisdoms)yang menyatu dengan sebagian  kultur modern yang diadopsi dari negara-negara Barat (western countries).

Artinya sistem perekonomian nasional Indonesia sebagai dipikirkan dan dicita-citakan bpk bangsa Dr.Muhammad Hatta yang merumuskan konsep pasal 33 UUD 1945, bahwa dengan berusaha melalui sistem kelembagaan Badan Usaha Koperasilah, sila ke 5 Pancasila yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, hanya bisa dicapai.

Dengan makna lain, dengan berkoperasi pembangunan berkelanjutan nasional (National Sustanaible Development) sebagaimana disepakati dan dideklarasikan di PBB dengan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) hanya pilihan strategi dan pendekatan program dan kegiatan pembangunan yang cerdas dan tepat adalah Badan Usaha Koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, diantara core valuenya Koperasi Indonesia itu adalah “Slepet-nomic” yang dipromosikan Prof.Didin S Damanhuri, ilmuwan dan pakar ekonomi politik, GB IPB University, beliau adalah guru dan mentor saya.

Demikian tanggapan saya tentang artikel Prof.Didin S Damanhuri mengangkat ide dan perspektif “Slepet-nomic” yang pernah disampaikan Cawapres RI thn 2024 Cak Imin, candaan “Slepet” dalam kurtur santri, sehingga akhirnya menjadi wacana publik yang cukup menarik. Semoga adanya diskursus ini, semakin membuka pola pikir kita, untuk kembali ke jatidiri bangsa yakni Koperasi Indonesia. Walaupun saya sadar bahwa nomenklatur Koperasi sebagai amanah konstitusi sering terlupakan.

Baru-baru ini saya ikut Konperensi Dialog Capres RI thn 2024 di IICC IPB University, Kota Bogor, dan Silaknas ICMI thn 2023 di Kota Makasar Sulsel, Oktober 2023, hampir tidak ada ketiga orang Capres RI 2024 mengangkat isu pembangunan Koperasi Indonesia sebagai basis perekonomian nasional. Faktor sistem kelembagaan berbasis kerakyatan, local wisdoms nyaris terabaikan dan terlupakan, bahkan ada yang sudah alergi dengan nomenklatur Koperasi.

Jika mindset ini terus lestari dalam benak kita, dan hinggap di kalangan the ruling party, elite parpol dan para penyelenggara negara, maka saya agak pesimis bagaimana kita sukses memperjuangkan pembangunan yang berkeadilan, yang menjadi jargon Capres RI 2024 ARB yang mengusung perubahan. Semoga menjadi perenungan kita bersama anak bangsa dipenghujung tahun 2023 sekarang ini.
Selamat Tahun Baru 2024, insya Allah Indonesia berubah kearah kemajuan yang beradab.
Syukron barakallah
Wassalam

====✅✅✅

Penulis: Dr.Ir H.Apendi Arsyad, M.Si
(Pendiri dan Dosen Senior Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat MPW ICMI Orwilsus Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat serta Kritikus Sosial)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles