Jurnalinspirasi.co.id – Bagus sekali artikel ini, menarasikan tentang sejarah dinamika ummat Islam Indonesia yang tertindas di negerinya sendiri dari masa ke masa. Â
Hegemoni etnis China-Tionghoa (aseng) memang terus berlanjut mewarnai kehidupan bangsa dan negara Indonesia, baik era pra dan maupun post Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, terus berlanjut.
Peristiwa pelanggaran HAM penggusuran etnis Melayu Islam Rempang, Kepulauan Riau dari habitat dan ekosistem aslinya, 16 Kampung Tua masyarakat adat Melayu, adalah salah satu fakta yang menjelaskan fenomena cengkraman oligarky.
Satu dasa warsa terakhir, poros Jakarta-Peking semakin menunjukan eksistensinya, dimana para oligarky China Tiongkok begitu kuat hegemoninya dalam mengarahkan, menentukan dan bahkan mendikte rezim yang berkuasa saat ini membuat kebijakan publik dan regulasi di bidang perekonomian, investasi dan bisnis mengikuti kemauan para Oligarky. Dalam praktik pelaksanaan regulasinya bertentangan dengan tujuan bernegara sebagaimana isi Pembukaan UUD 1945, dan sila-sila Pancasila sebagai sumber norma dan kaidah hukum NKRI.
Saya kira kita harus pelajari sejarah mengapa peminggiran (marginalisasi) ummat Islam Indonesia terus terjadi, seperti yang dialami etnis Melayu Islam pulau Rempang, Kepulauan Riau, baru-baru ini.
Faktor-faktor atau variabel apa yang sebenarnya yang membuat nasib ummat terabaikan begini ? Terzholimi digusur dari habitat asli (endegonus people) dengan cara paksa, militeristik dan biadab. Apa yang dilakukan rezim berkuasa saat ini dalam pengembangan investasi dan bisnis adalah cara-cara primitif dan kuno, yang tak sesuai dengan norma dan kaidah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang telah dirumuskan, disepakati atau diputuskan menjadi komitmen dilaksanakan bersama dari masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia di dalamnya.
Kaum intelektual muslim Indonesia seperti ICMI, Muhammadyah, NU, Kahminas, Persis, Matul5 Anwar, Perti, Al Irsyad, PUI, dan banyak lagi ormas Islam yang lain, kita harus memahami gejala sosial politik dan ekonomi (investasi dan bisnis perdagangan dan industri serta perbankan) akhir-akhir ini, terutama satu dasa terakhir di era Jokowi, yang menempatkan umat Islam Indonesia pada lapisan bawah (low class), termarginalkan atau bahkan paling bawah (lowest class) dalam strata sosial berbasis ekonomi.
Hal ini terus berlangsung gejala sosial hingga kini, lihat dan pelajari dari data penguasaan atau kepemilikan aset produktif seperti lahan perkebunan Sawit (baca salah satu diantaranya kasus kriminal Surya Darmadi, CEO Duta Palma), property dll, dan sangatlah tidak pantas ketimpangan sosial ekonomi ini terjadi sebagaimana ditunjukan angka gini ratio sangat tinggi berkisar 0.38-0.42, sinyal lampu merah. Ketimpangan sosial yang sangat tinggi. Ini namanya ketidakadilan sosial, dengan istilah agama Islam namanya “penzholiman”.
Gejala pergeseran aset publik (negara dan komimunal/hak ulayat) bergeser ke pemilik pribadi si aseng seperti yang terjadi dalam pengelolaan lahan perkebunan sawit dan konsesi lahan tambang yang pro private coorporacy. Dampaknya tidaklah heran, konsentrasi ekonomi dan aset nasional berada dan milik pada segelintir orang dari kaum oligarky aseng. Hal ini sangat bertentangan dengan Sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Gejala sosial negatif ini aneh bin ajaib, dimana ulama, kiyai, ustadz dan santri (kaum pribumi) telah berjuang habis-habisan berkorban darah dan nyawa untuk merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Kok sekarang bisa menjadi tamu dan merasa asing di negerinya sendiri. Nauzubillahi minzalik.
Kita harus ingat peristiwa puncak perlawanan rakyat pada tgl 10 November 1945 di Surabaya, dan peristiwa bersejarah dan simbol perlawanan pribumi Indonesia (yang zaman VOC disebut kaum Inlander, warga kelas 3 dimasa itu), kok kini Indonesia sudah merdeka, masih dikuasai etnis China-Tionghoa lagi.
Anak-cucu kita wajib diingatkan bahwa setiap tgl 10 November kita peringati Hari Pahlawan Nasional, yang didahului Hari Santri Nasional sebagai apresiasi terhadap adanya fatwa jihad KH Hasyim Asya’ri, tokoh ulama dan pendiri Nahdhatul Ulama (NU), Pahlawan Nasional kita.
Almukarrom syech (KH) Hasyim Asya’ri telah memberikan energi perlawanan-berperang yang dahsyat ketika itu, Bung Tomo memekikan kalimatullah “Allahu Akbar” berkali-kali di RRI Surabaya untuk menggelorakan semangat berperang menumpas penjajahan tentera sekutu/KNIL yang ingin “comeback” menguasai Tanah Air Indonesia.
Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah SWT Indonesia pun Merdeka.
Bahkan yang sering merusak tatanan sosial masyarakat bangsa ini adalah kaum China-pengusa besar yang disebut kaum oligarky, yang hidup mewah yang menimbun dan bergelimang harta hasil dari perbuatan haram dan melanggar hukum seperti suap- menyuap dan sogok-menyogok elite politik (korupsi, kolusi), permafiaan dalam perdagangan ekspor impor-juga politik-hukum, mafia bandar perjudian elektronik, penyalahgunaan narkoba, etc.
Sistem penegakan hukum nasional kita menjadi lumpuh, upaya penegakan hukum (law enforment) tajam kebawah dan tumpul ke atas, hukum tidak lagi menegakan kebenaran, akan tetapi bergeser kepada siapa yang mau dan mampu membayar, yang umumnya terlibat kaum oligarky yg memiliki uang yang banyak tak berseri, seperti yang banyak diberitakan di media massa dan media sosial.
Maaf, kebanyakan para aktornya adalah para oknum dari kaum Chinese-Tionghoa karena memang mereka hidup tidak beragama, tidak bertuhan (ateis, komunis). Bagi mereka, yang machiafelis dan pragmatis, sah-sah saja mereka berperilaku menyimpang dari norma agama (haram), sosial dan budaya Indonesia tersebut yang tidak bermoral dan beretika tersebut, sehingga mereka berhasil menjadi konglomerat, pengeksploitasi SDAL secara besar-besaran (overexploitation) yang merusak ekosistem alam dan lingkungan, dan penimbun harta yang kaya raya, sehingga membuat hidup rakyat pribumi melarat dan marginal.
Kaum pribumi secara pelan dan pasti kehilangan aset produktifnya untuk bisa hidup yang layak seperti tanah (hutan dan perkebunan), air dan udara.
Status sosialnya dalam masyarakat Indonesia dulu hingga sekarang tetap sebagai warga masyarakat “kelas tiga” (inlander), yakni bekerja menjadi buruh, jongos, kacung, kuli dan pesuruh serta budak majikannya, terutama dalam pemenuhan kehidupan ekonomi, usaha bisnis dan investasi di negeri. Hidup mereka dalam cengkraman kaum oligarky yang menguasai dan menguras sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (SDAL) Indonesia, karena mereka menciptakan para pemimpin Indonesia sejak doeloe hingga zaman Now sebagai mitra “boneka China”, bukan boneka India sebagai mana syair lagu Melayu tempo doeloe yang merdu itu.
Ingat pesan Bung Karno “Jasmerah” jangan melupakan sejarah. Terutama sejarah perjuangan bangsa untuk melepaskan dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang, terutama penjajahan dewasa ini di bidang ekonomi kapitalis, berupa penguasaan, cengkraman oligarky-etnis China (aseng) yang telah menguasai hampir semua lini bidang ekonomi di negeri ini.
Kaum elite politik (the ruling party) baik di birokrasi Pemerintahan, apalagi para wakil rakyat di Parlemen baik di pusat dan maupun di daerah wajib memahami dan menghayati hal ini, sebuah kesadaran sejarah nasib sial dan malang dari kaum pribumi (inlander) di Indonesia terulang kembali.
Kita harus bekerja keras untuk mensosialisasikan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar dan kesadaran publik terhadap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sebagai WNI yang baik, janganlah lengah, abai dan tetap selalu waspada akan ATHG tersebut, terutama intervensi dan aneksasi oleh kekuatan “Aseng dan Asing” kini dihadapan mata.
Produk perundangan-undangan spt UU Minerba, UU Cipta Kerja (omnibuslaw), UU IKN dll, sebenarnya tak akan bisa keluar menjadi landasan legislasi dan kebijakan publik (public policy) nasional dewasa ini yang pro oligarky, jika para elite politik memiliki kesadaran sejarah perjuangan kebangsaan kaum pribumi tersebut. Kaum elite politik seharusnya senantiasa mengingat pesan dan amanat Sang Proklamator RI Ir.Soekarno… “Jasmerah”, jangan melupakan sejarah, kalau ingin menjadi bangsa yang besar dan bermartabat, serta berdaulat.
Berikutnya, saya merekomendasikan artikel sejarah “nasib-sial kaum pribumi Indonesia”, yang notabenenya “kaum sarungan”, ulama, ustadz, intelektuil, dan santri janganlah terus dipinggirkan, menjadi kaum tertindas (mustaafin) sepanjang masa. Kita kaum pribumi harus hidup merdeka yang sesungguhnya dalam segala aspek kehidupan “ipoleksosbudhankam” di negeri ini.
Kita sangat berharap di masa depan, akan lahir para pemimpin negeri yang berkuasa dan berwenang (the ruling party) baik di eksekutif (presiden), legislatif (DPR dan DPRD) dan maupun yudikatif (penegak hukum) di pusat dan daerah, yang berkomitmen tinggi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan dasar dan falsafah negara Pancasila dan landasan konstitusi UUD 1945. Mereka membuang jauh-jauh perbuatan kriminal KKN, dan tidak menjadi jongos dan antek para oligarky lagi, hidup bersih dan berdedikasi dalam memajukan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Harapan kita Kepala Negara dan Pemerintahan NKRI seperti Presiden dan Wapres RI-nya, dan juga Kepala Daerah seperti Gubernur, Bupati dan Wali Kota, kita berharap jangan lagi menjadi antek, jongos, kacung, boneka dari para Oligarky dengan pola kerja KKN-nya yang merusak tatanan sosial kebangsaan, sehingga kaum pribumi, terutama umat Islam Indonesia menjadi warga yang tidak terhormat dan tidak bermartabat di Negeri-NKRI miliknya sendiri. Kini negeri ini seolah-olah milik kaum “asing based on aseng” sebagai mana gejala sosial yang kian tampak jelas, dan terus berlangsung hingga saat ini.
Harapannya kita harus mau dan mampu melepaskan belenggu cengkraman para oligarky dalam berbagai wajah dan bentuknya, agar Indonesia Emas tahun 2045 yang akan datang dapat terwujud sebagai negara maju dan moderen, rakyatnya terbebas dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Semoga Allah SWT memberkahi kehidupan berbangsa dan bernegara yg adill dan berkemakmuran, terutama kaum pribuminya Indonesia sebagai soko gurunya dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdaulat, rakyatnya makmur yang berkeadilan dan sejahtera, Aamiin.
Save Rakyat, bangsa dan NKRI.
Wassalam
====✓✓✓
Penulis:
Dr Ir.H.Apendi Arsyad, M.Si
(Pendiri-Dosen Universitas Djuanda Bogor, Pendiri-Ketua Wanhat ICMI Orwilsus Bogor, Pegiat dan Pengamat Sosial)