28.1 C
Bogor
Saturday, November 23, 2024

Buy now

spot_img

Pecahnya Koalisi Pilpres 2024 Akibat Pengkhianatan

jurnalinspirasi.co.id – Sebuah narasi dari AHY buat kader dan rakyat Indonesia yang sudah viral di medsos, yang menurut saya kontennya tampak “bijak” dan jernih dalam memahami akrobat perpolitikan yang terjadi. Akrobat politik penentuan pasangan Capres dan Cawapres RI, ARB dangan MI, yang dinilai tidak beretika dan tak bermoral (niretic and nirmoral).

Padahal mereka elite parpol dalam membangun koalisi untuk memenangkan Pilpres tahun 2024 mendatang sudah lebih setahun mereka bina dengan segala suka dan duka citanya, baik yang dialami Parpol Demokrat dengan peristiwa rencana kudeta “KLB” Muldoko, maupun Nasdem dengan penangkapan dan mempidanakan Sekjen Partai Nasdem atas tuduhan perbuatan korupsi.

Dengan kasus pecahnya kongsi koalisi parpol Nasdem versus partai Demokrat, mengindikasikan bahwa

praktik berpolitik yang dilakoni para elite Parpol negeri ini semakin tampak jelas sangat pragmatis, tidak memiliki semangat dan jiwa idealisme yang kuat dan sikap mental yang rapuh.

Mereka untuk mengejar tujuan politik untuk meraih kekuasaan, ditempuh dengan menghalalkan berbagai cara dan mengabaikan etika dan moral politik. Demikian ungkapan yang saya dengar, simak dan kemudian saya kutip dari pernyataan bapak SBY, Ketua Wantim Partai Demokrat di beberapa media sosial.

Padahal, mereka para elite politik jika berbicara di arena publik amatlah lantang dan sangat fasih bicara demokrasi, musyawarah-mufakat, konsensus dan lain-lain nomenklatur bijak lainnya yang menggoda publik.

Akan tetapi dalam praktiknya “nauzubillahi minzaliq” yang terjadi bahkan sebaliknya, paradoks dan anomali. Mereka keluar dari komitmen dan kesepakatan berkoalisi dan bersikap otoriter dengan keputusan sepihak.

Begitu teganya meninggalkan ‘kawan setia” aliansi atau koalisi politiknya, tanpa alasan dan tanpa pamitan jika ingin berpisah, atau pecah kongsi dalam berkoalisi untuk Pilpres 2024.

Sangat tidak elok dipandang mata publik, dan bertentangan dengan hati nurani dan akal sehat (commen sense) kita yang waras. Bahkan pihak ditinggalkan, pasti sangat kecewa, barang tentu sangat wajar  berkata mereka merasa dikhianati, atau ada pengkhianatan, karena pihak mitra koalisi ingkar janji.

Muncul kata pengkhianatan itu, akibat emosi kekecewaan, meluap, yang tak tertahankan. Jika faktanya demikian, alangkah buruknya watak dan kepribadian seseorang yang dicap pengkhianat itu. Siapa mereka silakan cari sendiri !

Kita tentunya sangat merasa sedih mendengarkan kata-kata “berkhianat” yang telah dilakukan para elite politik tertentu, yang kononnya sebagai tokoh yang seharusnya menjadi panutan dalam bersikap dan berbuat baik dan bijak. Panutan disini kita sangat paham maknanya, antara lain sikap dan pola perilaku seseorang tokoh panutan itu  harus baik dan berakhlaq mulia (ahlaqul karimah).

Salah satu “core value and norms” yang ada dalam berperilaku baik dan mulia dari sosok seorang tokoh dan figur manusia itu adalah etika dan moral.

Etika dan moral ini merupakan watak kemanusiaan, mutlak ada dalam diri seorang tokoh politik. Jika sistem nilai dan norma dalam pergaulan dan interaksi sosial ini diabaikan, maka sulit rasanya lahir sosok pemimpin politik yang berkarakter negarawan-sejati. Seandainya  pimpinan parpol tersebut mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, kemudian menang dalam pilpres 2024 nanti, maka sulit kita membayangkan pasangan tersebut akan bisa bekerja, memgembang amanah rakyat, dan berhasil dalam mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi, memajukan, mencerdaskan dan menjaga perdamaian abadi.

Panggung politik kita di tanah air saat ini, menjelang Pilpres 2024, sedang marak dipertonton dihadapan massa rakyat oleh para elite parpol, dengan sikap dan pola berperilaku (gusture) yang “niretika dan nirmoral”, salah satu ungkapan kekecewaan mantan Presiden RI bpk.SBY.

Faktanya, merujuk dari kasus rapuhnya ikatan koalisi parpol perubahan antara Demokrat versus Nasdem ini sebuah tontonan yang sesungguhnya tidak baik, alias tidak memberikan kesuritauladanan kepada Rakyat Indonesia, berpotensi merusak sistem demokrasi.

Mereka para elite politik selama ini pintar bicara, berucap dengan untaian kata-kata yang indah-indah “etika dan moral”, retorika mempesona untuk menarik simpati massa rakyat dengan berbagai janji. Akan tetapi pada kenyataan mereka berperilaku amoral dan niretika, atau berkhianat dalam berkoalisi sebagaimana diungkapkan bapak SBY dan para pendukungnya, sehingga hal ini bisa memancing sikap antipati rakyat dan ketidakpercayaan (untrust) terhadap elite-elite Parpol yang tengah berkompetisi dalam Pileg dan Pilpres RI tahun 2024 nanti.

Maknanya sangat jelas, munculnya kata-kata dan ungkapan bahasa “pengkhianatan”, itu merupakan sikap yang tak terpuji, mereka tidak memegang dan ingkar janji (komitmen), berwatak buruk.

Semua kita tahu dan paham bahwa salah satu ciri kemunafikan dari manusia adalah ingkar janji antar sesamanya. Kemunafikan merupakan sumber dan faktor perusak yang dahsyat dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Watak kemunafikan itu harus kita buang jauh-jauh dalam pergaulan sosial dan pola budaya kita, karena merusak peradaban dan menghambat kemajuan Indonesia, karena tidak sesuai dengan Sila-sila Pancasila dan pasal-pasal UUD 1945.

Kita jangan lupa negara-bangsa (nation-state) yang namanya Indonesia Raya ini tegak dan berdiri kokoh hingga kini atas landasan (dasar) falsafah dan ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi dan sarat dengan sistem  moral dan etika berbangsa dan bernegara. Kedua elemen budaya yang membentuk sebuah peradaban tersebut merupakan prasyarat mutlak untuk bisa membangun Indonesia yang berperadaban maju (modern).

Dengan berpegang teguh pada sistem etika dan moral bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kita mampu dan bisa mewujudkan masyarakat maju, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam wadah NKRI, insyaAllah.

Semoga masyarakat dan rakyat Indonesia semakin cerdas dan sadar dalam memilih pemimpin negara pada Pilpres 2024 mendatang, mana manusia yang beretika-bermoral dan atau yang tidak. Hendaknya pilihlah pasangan Capres-cawapres RI yang diusung dari Parpol yang beretika dan bermoral, demi keselamatan negara-bangsa lebih terjamin keberlangsungannya sekarang dan yang akan datang.

Walaupun menjatuhkan pilihan untuk menyalur suara Pilpres 2024 agak sulit dilakukan, tidaklah mudah, mengingat penampilan, gerak gerik (gusture) dan sosok aktor-aktor politik yang bermunculan di ruang publik relatif sama karakternya, pragmatis, materialistik, dan hedonis serta nonideologis sebagai dampak atau korban dari sistem demokrasi berbiaya tinggi, transaksional dan kader parpolnya tidak terseleksi dengan baik.
Sekian dan terima kasih.
Wassalam.

====✅✅✅

Penulis:
Dr.Ir H.Apendi Arsyad, M.Si
(Salah seorang Pendiri ICMI di Malang thn 1990, Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, Pendiri dan Dosen Senior Universitas Djuanda Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles