Bogor | Jurnal Inspirasi
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perubahan status Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi Perusahaan Umun Daerah (Perumda) ‘dijegal’ pengesahannya oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Kota Bogor. Pasalnya, anggota Banmus saat rapat pada Kamis (14/10) meminta agar Panitia Khusus (Pansus) PDJT kembali meminta Legal Opinion (LO) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bogor.
Padahal, sebelumnya Pansus PDJT telah mengantungi restu gubernur dan juga LO dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, yang diterbitkan pada 21 Mei 2021. Selain itu, wakil rakyat pun kembali mempertanyakan penggunaan Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) dan dana penyehatan yang dikucurkan pada 2018 silam.
Menanggapi hal itu, Ketua Pansus PDJT, Shendy Pratama mengatakan bahwa sejauh ini pansus yang dipimpinnya sudah menunaikan kewajibannya untuk menyampaikan raperda yang telah dibahas sejak November 2020 lalu itu kepada Banmus.
“Kaitan produk hukum daerah (perda PDJT) sudah kami minta diparipurnakan. Namun dinamika yang terjadi di Banmus, ada keinginan untuk adanya LO kembali dari kejaksaan. Alasannya untuk mengutamakan prinsip kehati-hatian,” ujar Shendy kepada wartawan, Kamis (14/10).
Shendy juga mengakui bahwa pihaknya sudah mengantungi LO Kejati Jabar. Namun, saat disinggung mengapa Banmus kembali meminta LO dari Kejari Kota Bogor. Ia menyebut bahwa hal itu lantaran adanya permintaan dari koordinator pansus.
“Namun kami di pansus menyakini bahwa untuk memparipurnakan sesuatu peraturan daerah, bukan berarti adanya persetujuan. Pendapat dari kejati itu sudah disampaikan dan telah ditindaklanjuti dengan menghadirkan tenaga ahli yang kompeten agar regulasi tidak bertentangan. Jadi sebetulnya sudah selesai,” ungkapnya.
Shendy pun mengaku bingung mengapa harus ada tambahan LO dari kejari. “Kalau harus menunggu hasil LO baru, tidak tahu kapan keluarnya. Sedangkan November pansus kami selesai. Nanti saya akan bersurat kepada pimpinan DPRD untuk meminta LO dari kejari,” katanya.
Shendy juga menegaskan bahwa dalam rapat banmus pihaknya telah menyampaikan bahwa perda perubahan status PDJT sama sekali tidak membahas mengenai anggaran atau permasalahan operator Transpakuan tersebut.
Shendy juga menyebut bahwa dinamika yang terjadi rapat banmus yang membahas mengenai kemungkinan PDJT pailit, sebenarnya bukan menjadi ranah DPRD. “Tugas kita hanya menjakankan amanat UU 23 Tahun 2014 dan PP 54 Tahun 2017,” tegasnya.
Saat disinggung mengenai apa perbedaan antara LO dari Kejati Jabar dan LO Kejari Kota Bogor. Shendy mengaku bingung. “Saya kurang paham. Kemarin saya sempat tanyakan kepada Kasi Datun Kejari Kota Bogor, apakah bila ada perubahan nama berarti hak kewajiban yang sebelumnya itu tidak menjadi tanggungjawab yang sekarang. Di pasal 101 Perda kaitan dengan Perumda Transpakuan di sampaikan bahwa setiap hak kewajiban pertanggungjawaban dari PDJT beralih kepada Perumda Transpakuan. Jadi sebenarnya ini sudah clear and clean,” katanya.
Shendy menyebut bahwa apabila raperda itu gagal disahkan hingga November mendatang, maka hal tersebut bukanlah kesalahan Pansus PDJT. “Sebab kami sudah berupaya dan kita sudah di jelaskan semua data dan kronologisya dengan prinsip ke hati-hatian,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua I DPRD Kota Bogor, Jenal Mutaqin mengatakan, gagalnya Raperda PDJT diparipurnakan lantaran adanya permasalahan hukum yang kini tengah mendera PDJT terkait PMP sebelumnya. “Secara garis besar peristiwa itu dengan kebijakan kita membuat satu peraturan daerah rasanya memang tidak saling berkaitan. artinya sesuatu yang beda. Namun, pada saat kemarin rapat dengan kejaksaan sebelumnya memang ketua pansus bertanya mengenai memparipurnakan raperda itu, dan memohon arahan ke kejari. Respon kejari agar DPRD kembali menyampaikan surat resmi.
“Karena sudah ada bahasa seperti itu, kami menjaga marwah secata kelembagaan termasuk lebih menyakinkan kami bahwa pengesahan raperda tidak akan berujung masalah,” jelasnya.
Dengan demikian, sambung Jenal, Banmus mengambil jalan tengah untuk meminta LO kembali. “LO yang pertama kan, PDJT belum ada masalah. Sekarang kan ada masalah. Memang ini peristiwa berbeda, tapi saling berkaitan,” kata politisi Gerindra itu.
Saat disinggung mengapa DPRD tidak membuat pansus baru untuk meminta laporan pertanggungjawaban PMP dan penggunaan dana penyehatan sebesar Rp5,5 miliar oleh PDJT. Jenal mengaku sepakat dengan hal itu. Namun, sambungnya, pembentukan pansus itu bermula dari usulan masyarakat, anggota legislatif dan desakan publik.
Lebih lanjut, Jenal juga menjelaskan bahwa lambatnya pengesahan raperda itu lantaran adanya perbedaan naskah akademik. “Ternyata telah terjadi perubahan naskah akademik sebanyak dua kali, di dalamnya termasuk arahan dari kejaksaan mengenai aset lama, aset yang menyusut, itu harus masuk didalam naskah yang disusun. Tapi sekarang sudah lengkap,” jelasnya.
Kemudian, sambungnya, ada kekhawatiran dari dewan mengenai permasalahan hukum, dan dewab sudah kadung meminta LO ke kejari.
**fredykristianto