Jakarta | Jurnal Inspirasi
Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada kebutuhan rakyat banyak yakni sembako mendapat penolakan. Nilai PPN sembako cukup besar dan bakal memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat. Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, gagasan menolak rencana PPN sembako ini lantaran memberikan efek domino bagi perekonomian dalam negeri dan kesejahteraan masyarakat. Pihaknya telah menerima draf revisi UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Sebelumnya itu kan (sembako) tidak dikenai PPN. Tapi kalau saya lihat di draf KUP-nya, PPN-nya menjadi lima persen. Lima persen itu kan besar sekali,” ujar Tauhid, Rabu (9/6).
Ia menyebutkan tiga dampak yang kemungkinan timbul akibat kebijakan PPN sembako tersebut. Di mana yang pertama adalah menurunya pertumbuhan ekonomi Indonesia karena konsumsi masyarakat yang menurun.
“Dari segi konsumsi, makanan dan minuman di luar restoran sumbangannya ke perekonomian cukup besar. Sekitar 23 persen. Jadi kalau itu terjadi kenaikan, pengaruh ke pertumbuhan ekonomi akan luar biasa. Akan menurun,” papar Tauhid.
“Karena orang akan mengurangi volume konsumsi akibat itu. Kalau konsumsi turun maka para produsen juga akan menyeimbangkan produksinya. Kalau produksinya turun, otomatis pendapatan para pelaku usaha dan rantai tata niaga akan mengalami penurunan, dan otomatis pendapatan akan turun,” sambungnya.
Kemudian efek yang kedua, penarikan PPN sembako juga diprediksi meningkatkan tingkat kemiskinan.
Tauhid mengilustrasikan, penarikan pajak sembako berakibat pada kenaikan harga satuan komoditas. Artinya, garis batas bawah untuk penghitungan kemiskinan juga akan mengalmai peningkatan.
“Berarti garis kemiskinannya meningkat. Dan masalahnya di tengah situasi pandemi, otomatis peningkatan pendapatan dengan laju kenaikan harga masing-masing produk sembako enggak seimbang. Efek kejutnya akan meningkat ke kemiskinan,” ucapnya.
Kemudian untuk dampak yang terakhir yang diprediksi Tauhid adalah peningkatan angka pengangguran. Pasalnya dia menerka dunia usaha akan menyesuaikan dengan kebijakn PPN sembako ini dengan menyeimbangkan antara permintaan dengan skala produksi.
Dengan begitu, akan terjadi penurunan produksi dari hari biasanya yang berakibat pada penurunan pendapatan. Dan secara otomatis, akan ada efisiensi anggaran, yang kerap kali diimplementasikan pada pengurangan karyawan.
“Bagi dunia usaha ataupun pelaku usaha, karena penurunan volume produksi, maka mereka akan menyesuaikan kebutuhan tenaga kerja. Saya khawatir efeknya ke tenaga kerja karena penurunan penjualan,” demikian Tauhid Ahmad.
Dalam draf revisi UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran akan dikenaik PPN, karena dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Komoditas sembako yang dikenai PPN nantinya meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud adalah emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.
Dalam draf revisi UU KUP itu juga ditambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Ada jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi.
Selain itu, jasa kena PPN lainnya antara lain jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
** ass