Bogor | Jurnal Inspirasi
Sebelum kita mengetahui hakikat santri, kita harus mengetahui terlebih dahulu kata ”santri” itu sendiri. Santri diambil dari bahasa Sanskerta “Shastri” yang berarti orang suci. Sedangkan dalam bahasa Arab kata santri terdiri dari susunan huruf yaitu sin, nun, ta, ra, dan ya. Sin atau sabaaqul khoir yang artinya pelopor kebaikan, dimana pun ia berada apa pun kondisinya ia harus menjadi pelopor kebaikan.
Katakanlah yang benar walaupun itu pahit. Ia harus menegakkan kebenaran apabila ia mengetahui itu benar dan mengatakan itu salah apabila itu salah. Itulah mengapa ada slogan “Bersama Santri, Damailah NegeriI”.
Nun atau naaibul ‘ulama yang artinya penerus ulama. Ulama atau seseorang yang memiliki ilmu yang luas dan berakhlak mulia, santri yang di didik dengan kelembutan, kesabaran, dan kesidiplinan oleh para guru dan kyai harus berupaya menjadi penerus ulama. Menjadi ulama tidak harus selalu berdiri di atas mimbar, tak harus menjadi penceramah akan tetapi yang penting adalah ber akhlak mulia dan harus selalu istiqomah dalam menjaganya dengan ilmu yang dimilikinya.
Ta atau tarkul ma’ashi yang artinya meninggalkan maksiat. Santri tidak hanya di didik, di bina atau dibekali ilmu agama saja melainkan juga harus meninggalkan maksiat. Santri harus mengendalikan segala nafsu nya.
Ra atau ridhollahu yang artinya ridho Allah. Santri tidak hanya menuntut ilmu agama Allah, tetapi juga harus selalu dalam jalur ridho Allah. Karena ia harus mengaplikasikan ilmu nya dengan perkataan dan perbuatan agar Allah meridhoinya.
Ya atau yaqinun yang artinya keyakinan. Keyakinan adalah keharusan bagi seorang santri karena ia berada dalam ilmu yang tidak diragukan baik keberkahan mau pun manfaatnya.
Jika seseorang mendengar kata “santri” pasti yang ada dipikiran seseorang itu adalah orang yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren, baik modern atau salafi. Bukan tentang peci sarung dan kerudung. Akan tetapi, santri adalah orang yang menuntut ilmu agama Allah dengan mencari keberkahan guru dan kiyainya.
Santri pun menjadi elemen terpenting bagi bangsa kita. Karena nasib negeri ini ada di tangan santri. Santri harus menjadi seorang pemimpin, jangan sampai meja pemerintahan jatuh ke tangan-tangan yang tidak pantas menerimanya.” Man jadda wa jada” yang artinya barang siapa yang bersungguh-sungguh maka dapatlah ia. Santri harus belajar menjadi orang yang percaya diri, karena banyak orang yang gagal karena merasa tidak percaya diri.
Mengutip perkataan kiyai saya ketika di Pondok “jangan lihat santri di dalam, tapi lihatlah dia setelah berkiprah di luar!”. Memang benar apa yang dikatakan kiyai saya ini, banyak alumni pondok pesantren yang di pondok biasa-biasa saja, namun ketika ia lulus dari pondok dan berkiprah di masyarakat menjadi orang yang dikenal.
Jika ada yang berpikir kalau santri itu setelah lulus hanya menjadi penceramah ataupun seorang guru itu tidak salah dan juga benar, karena sudah banyak alumni pondok yang berprofesi sebagai dokter, bidan, tentara, polisi dan lainnya.
Adab lebih mulia dibandingkan ilmu yang kau miliki. Sebanyak apa pun ilmu yang kau miliki akan tetapi kamu tidak beradab ilmu mu tidak akan barokah, karena santri itu menuntut ilmu agama harapannya untuk mendapatkan barokahnya guru atau kiyai. Jadi, seorang santri tidak boleh sombong akan ilmu yang dia miliki, justru harus berbagi. Karena ilmu yang tidak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah (mahfudzot).
Sebenarnya santri itu bukan hanya orang yang menuntut ilmu agama di pondok pesantren saja. Seseorang yang menuntut ilmu agama dan berakhak mulia juga bisa dikatakan santri. Santri pun tidak hanya belajar, mengaji Al-Qur’an, mengaji kitab kuning dan menghapal, akan tetapi santri pun bisa mengembangkan bakatnya. Terutama seni, karena santri dituntut untuk tidak menggunakan bahan yang beli di luar pondok atau barang yang mewah jadi santri harus kreatif memutar otak agar apa yang ingin dia kreasi kan sesuai dengan apa yang ia mau namun , tidak mengeluarkan banyak biaya.
Santri pun diajarkan untuk berbicara di depan khalayak banyak, karena santri ketika ia lulus dari pondok dibutuhkan oleh masyarakat, salah satu nya untuk berceramah. “Law laa murobbi maa aroftu robbi” kalau bukan karena guru ku aku tidak akan mengetahui siapa Tuhanku.
Maksudnya adalah memang kita mengenal Allah diajarkan orangtua kita, akan tetapi guru yang mendidik kita dengan kesabarannya mengenalkan kita lebih jauh lagi mengenai siapa Tuhan kita yaitu Allah. Bukan sekedar mengajar tapi juga mendidik, ya mendidik bukan mengajar karena, kalau mengajar itu hanya datang ke kelas lalu memberikan pelajaran selesai. Akan tetapi jika mendidik tidak hanya memberikan ilmu akan tetapi mendoakan santrinya agar ilmu yang didapat menjadi sebuah keberkahan dan manfaat bagi orang banyak. Santri, berkhidmat kepada umat.
** Khoirun Nisa [MG/UIK-Jb]