Samarinda | Jurnal Inspirasi
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Selatan merilis data dampak banjir, Selasa (25/1). Terpantau sebanyak tiga orang hilang dan 24 orang meninggal dunia. Banjir menggenangi 11 kabupaten/kota di Kalsel dengan jumlah korban 599.272 jiwa, terbanyak ada di Banjar.
Sementara untuk total korban pengungsi sebanyak 99.636 orang. Namun, 15.742 orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Di sektor perikanan, terpantau kerugian mencapai Rp93 miliar. Sementara di kehutanan mencapai Rp1,4 milia lebih.
Selanjutnya fasilitas dan infastruktur yang rusak dan terendam yakni, sekolah sebanyak 628 bangunan, 609 tempat ibadah, 99.508 rumah, 76 jembatan dan 906.840 jalan raya. Sementara untuk korban meninggal ada 24 orang dan tiga orang hilang.
Sementara sebelumnya Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan, bukan karena intensitas hujan, namun kelalaian pemerintah dalam menghentikan deforestasi dan suburnya tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di tanah Borneo itu. Sebagai catatan, Kalimantan Selatan memiliki 553 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Non-CnC dan 236 IUP CnC. Oleh karena itu, menurut JATAM, masyarakat bisa menggugat pemerintah.
JATAM merujuk pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Semestinya sesuai dengan Pasal 71, pemerintah pusat dan daerah melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penanggulangan bencana.
Meliputi kebijakan pembangunan yang bisa mengakibatkan bencana, kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana, kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang, dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah juga semestinya berani mengevaluasi izin-izin tambang dan perkebunan sawit di Kalimantan Selatan. Kemudian memberikan sanksi bagi korporasi sebagaimana amanah Pasal 79 dalan UU Kebencanaan; berupa pidana penjara dan denda hingga pencabutan izin usaha. “Pemerintah bisa digugat dan disanksi karena menyebabkan bencana lewat kebijakannya menerbitkan izin tambang,” ujar Koordinator JATAM Merah Johansyah, baru-baru ini.
Pendapat yang sama diutarakan Staf Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan M. Jefry Raharja. Warga yang merasa merugi akibat bencana banjir, menurut Jefri, selayaknya menggugat pemerintah.
Jefry mengimbuhkan, pemerintah sudah semestinya bertanggung jawab atas bencana ekologis ini, seperti “di hulu terkait perizinan industri ekstraktif dan di hilir soal disaster management sampai emergency response.” “Pemerintah layak digugat. Seperti halnya bencana ekologis soal kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan yang digugat masyarakat sipil,” ujar Jefry.
** ass