Jakarta | Jurnal Inspirasi
Keberadaan tahu dan tempe menghilang di sejumlah pasar akibat kenaikan harga kedelai impor dimana telah berbuntut mogoknya produksi produsen tahu dan tempe di Jakarta dan Jawa Barat sejak 1 hingga 3 Januari 2021. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin memperkirakan lonjakan harga kedelai adalah akibat dari meredanya ketegangan antara Amerika Serikat dan Cina.
Saat perang dagang kedua negara memanas, harga kedelai impor turun ke level Rp 6.000 per kilogram. Kini setelah mereda, naik menjadi Rp 9.000 karena permintaan di Cina meningkat. Kementerian Perdagangan membenarkan hal ini. “Permintaan kedelai Cina naik dua kali lipat,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto.
Selama ini, sebagian besar dari kebutuhan kedelai Indonesia memang dipenuhi dari impor. Para perajin tahu tempe bukannya tidak ingin membeli kedelai lokal. Tapi Masalahnya, harganya belum kompetitif.
Kedelai impor bisa sampai ke Indonesia dengan harga sekitar Rp 6.500. Petani lokal juga menjual dengan harga Rp 6.500. Tapi ini harga ladang. Setelah diangkut ke perajin, lebih mahal.
Syarifudin berharap para petani kedelai lokal ini bisa terus diberdayakan. Harga jualnya dikelola agar tidak kalah bersaing dengan kedelai impor. “Para perajin jadi enak,” kata dia.
Sementara sebanyak 5.000 pelaku usaha kecil dan menengah atau UKM di DKI Jakarta menghentikan proses produksi tahu dan tempe selama tiga hari, pada 1- 3 Januari 2021. Mogok kerja ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap lonjakan harga bahan baku yakni kedelai dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.
“Tanggal 1 Januari 2021 sampai 3 Januari 2021 para pengrajin tempe tahu, berhenti produksi,” kata Sekretaris Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta, Handoko Mulyo.
Rencana mogok kerja telah disampaikan kepada sekitar 5.000 produsen maupun pedagang tahu dan tempe di DKI Jakarta melalui surat nomor 01/Puskopti/DKI/XII/2020 yang dikeluarkan Puskopti DKI Jakarta pada 28 Desember 2020.
Seruan mogok kerja itu juga disampaikan Handoko kepada jajaran pengurus di wilayah Provinsi Jawa Barat. Keputusan menghentikan sementara proses produksi, kata Handoko, disepakati jajaran pengurus Puskopti pada Kamis lalu, 31 Desember 2020.
Pengusaha tahu dan tempe di Jakarta akan mulai menaikkan harga jual produknya ke pasar mulai Senin, 4 Januari 2021. Yono, seorang pengusaha tahu di Jalan Mampang Prapatan XIII, Tegal Parang, Jakarta Selatan, mengatakan keputusan menaikkan harga tahu terpaksa dilakukan untuk menyesuaikan kenaikan harga bahan baku kedelai impor yang saat ini berada di angka Rp 9.200 per kilogram.
“Pabrik juga gak ada untungnya naikin harga, itu cuma buat nutupin harga kenaikan kacang (kedelai),” kata Yono di pabriknya, Sabtu, 2 Januari 2020. Menurut Yono, nominal kenaikan harga tahu akan terlebih dahulu dikoordinasikan dan disepakati bersama 5 produsen tahu yang berada di Mampang Prapatan XII.
Ia memperkirakan harga tahu akan dinaikkan Rp 3-4 ribu per papan cetak tahu. Sebelum ada kenaikan harga kedelai, satu papan cetak tahu biasa dijual Rp 23 ribu ke pedagang. “Tapi sampai saat ini belum ada kesepakatan harga,” kata pria yang sudah 12 tahun jadi pengusaha tahu itu.
Ketua Gakoptindo Syarifudin memperkirakan harga tempe dan tahu di pasar bakal naik hingga 20 persen untuk menutup lonjakan biaya produksi. Sebab, normalnya harga bahan baku Rp 6.500 per kilogram, maka harga jual tempe berkisar Rp 11.000-12.000 per kilogram. Namun dengan kondisi sekarang, harga bahan baku naik menjadi Rp 9.500 per kilogram, biaya produksi melonjak jadi Rp 13.000-14.000 per kilogram. “Kami mohon pengertiannya,” kata dia.
Penjual gorengan di Jakarta hari ini tidak menyediakan menu favorit para pembelinya, yaitu, tahu dan tempe. Seorang penjual gorengan di Jalan Kemang Timur, Jakarta Selatan, Roni mengatakan masih sempat menjual tahu dan tempe goreng pada Jumat, 1 Januari 2020. Saat itu ia masih punya stok tahu dan tempe hasil belanja sehari sebelumnya.
Namun pada Sabtu, 2 Januari 2020, tempe dan tahu menghilang dari pasar. “Padahal tahu dan tempe itu makanan favorit,” kata pria 45 tahun itu. Roni mengatakan dalam sehari ia bisa menjual sekitar 150 potong gorengan dari bahan tahu dan tempe. Hari ini, banyak yang mencari gorengan berbahan dasar kedelai itu. Sayang, ia tak menjualnya karena tak ada bahannya. “Karena enggak ada, jadi mereka beli yang lain.”
Menghilangnya tahu dan tempe dari tukang gorengan imbas mogoknya para pengusaha tahu dan tempe di Ibu Kota dan sekitarnya. Pabrik tahu dan tempe di Jalan Mampang Prapatan, Tegal Parang, Jakarta Selatan, misalnya. Mereka menghentikan produksi sejak Jumat lalu dengan alasan bahan baku kedelai naik dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram.
** ass