Bogor | Jurnal Inspirasi
Ratusan mahasiswa dari berbagai organisasi dan universitas kembali berunjukrasa menolak pengesahan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja kembali terjadi di depan Istana Kepresidenan Bogor sejak Kamis (8/10) pagi hingga petang. Demonstrasi dimulai dengan membentangkan spanduk yang berisi penolakan penolakan UU Omnibus Law hingga pembakaran ban bekas.
“Kami ingin menyuarakan penolakan kami kepada Presiden Jokowi bahwa UU Omnibuslaw ini membelenggu masyarakat,” ujar Koordinator aksi mahasiswa UIKA, Muchtar. Mahasiswa pun sempat mencoba mendekati pintu gerbang istana. Akibatnya kericuhan antara demonstran dan aparat keamanan sempat terjadi.
Diketahui ada 10 elemen mahasiswa yang ikut berunjukrasa, yakni PMII Kota dan Kabupaten Bogor, HMI Kota dan Kabupaten Bogor, IMM Bogor, KMHDI Bogor, PMKRI Bogor, GMKI Bogor, GMNI Bogor dan KAMMI Bogor. Ketua PMII Kota Bogor, Hamzah, dalam orasinya mengatakan bahwa pengesahan Undang-undang Omnibus Law adalah bentuk pengkebirian yang dilakukan pemerintah terhadap hak para pekerja.
Hal itu lantaran adanya beberapa aturan yang dinilai merugikan para pekerja. Diantaranya adalah terkait upah, pesangon dan jam kerja. “Ini adalah bentuk pengebirian yang dilakukan oleh pemerintah. Kita ini manusia, bukan robot,” kata dia.
Walaupun diguyur hujan lebat, namun hal itu tak mengendorkan para mahasiswa untuk menuntut pemerintah membatalkan UU tersebut. Sementara itu, Walikota Bogor yang juga Wakil Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Bima Arya menyampaikan sejumlah catatan terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dinilai berdampak kepada kewenangan daerah. Bahkan, Bima Arya sempat memantau dari dekat aksi unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen di kawasan Istana Kepresidenan Bogor.
“Semangat yang bisa ditangkap sebetulnya adalah penyederhanaan sistem perizinan untuk kemudahan investasi yang targetnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Saya lihat memang ada hal-hal yang jauh lebih sederhana dan lebih ringkas,” ungkap Bima.
Namun demikian, lanjut Bima, jelas bahwa kewenangan pemerintah daerah banyak terpangkas. Menurutnya Undang Undang ini lebih banyak memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat.
“Karena itu harus ada hal-hal yang dipastikan untuk diatur lebih rinci, lebih jelas, dalam aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah, utamanya terkait dengan keseimbangan antara investasi dan lingkungan hidup serta sinkronisasi antara iklim investasi dan juga rencana pembangunan di masing-masing daerah,” jelasnya.
“Karena itu sebaiknya ada ruang untuk memberikan masukan terhadap rumusan Peraturan Pemerintah dari semua pihak yang ketika proses omnibus law tidak maksimal dilakukan. Menurut catatan kami belum pernah ada sesi pembahasan antara APEKSI dengan DPR RI. APEKSI punya beberapa catatan dan rekomendasi penyesuaian terhadap draft UU, terutama soal perizinan dan tata ruang,” tambahnya.
Bima meminta, dalam merumuskan Peraturan Pemerintah nanti harus lebih jelas mengatur dan memastikan bahwa lingkungan hidup tetap terjaga, ada sinkronisasi antara rencana desain pembangunan di daerah dan juga keinginan dari pusat untuk menyelaraskan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Dari draft yang saya pelajari terkait kewenangan Pemerintah Daerah, ada beberapa nomenklatur yang berubah. Misalnya, kata Perizinan hilang dari konsep omnibus. Di mana izin disebutkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sehingga akan memiliki implikasi bagi daerah terkait pengendalian, pendapatan daerah atau retribusi,” katanya.
Secara kelembagaan, sambung Bima, akan ada perubahan signifikan terkait keberadaan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). “Otomatis dengan Online Single Submission (OSS) sebagaimana amanat di omnibus law, maka semua proses izin maupun non-izin, dikeluarkan secara elektronik melalui satu sistem itu dan DPMPTSP bukan lagi sebagai pelayanan tetapi lebih kuat kepada ranah pengawasan,” ujar Bima.
“Di UU omnibus ini DPMPTSP disebut penilik. Penilik adalah pengawas yang turun langsung ke proyek. Di sinilah akan terjadi moral hazard ketika berhadapan di lapangan kemudian bertatap muka dan sebagainya. Ini mungkin celah-celah yang harus dikritisi dalam UU omnibus ini,” katanya. Jadi di dalam PP nanti kewenangan pengawasannya harus lebih dikuatkan lagi karena dalam UU ini tertulis bahwa pengawasan bisa dilakukan oleh Pusat atau oleh Pemerintah Daerah. Nah, ada kata ‘atau’ ini yang nanti membuat tidak jelas. Banyak yang belum terjelaskan di dalam Undang Undang itu, bukan berarti dibebaskan begitu saja tetapi untuk diatur lebih detail lagi di PP,” tandasnya.
Selain memantau jalannya aksi unjuk rasa melalui CCTV di Balai Kota Bogor, Bima Arya juga terjun langsung dan berkoordinasi dengan Kapolresta Bogor Kota dan Dandim 0606/Kota Bogor di halaman Istana Bogor.
“Ini situasi teman-teman mahasiswa hari ini. Terpusat di depan Istana Bogor, macet di beberapa titik. Demonstrasi tidak dilarang, pesan saya tetap harus jaga protokol kesehatan untuk antisipasi penularan covid dan tolong jangan merusak fasilitas umum. Ekspresi oke, silahkan berekspresi tapi kita jaga sama-sama, hati-hati provokasi juga. Apresiasi saya ucapkan kepada jajaran TNI/Polri, Pak Kapolres, Pak Dandim, yang terus bersiaga mengamankan aksi unjuk rasa sehingga Kota Bogor kondusif,” pungkasnya.
** Fredy Kristianto