Seminggu ini, ramai pemberitaan tentang RSUD Kota Bogor yang terlilit hutang dengan nilai yang cukup fantastis, mencapai miliaran rupiah. Meluasnya pemberitaan tersebut, menuai pro dan kontra. Banyak orang menilai bila pengelolaan manajemen di RSUD Kota Bogor buruk. Namun tak sedikit masyarakat yang membela bahwa kerugian yang terjadi di RSUD Kota Bogor, semata-mata karena tingginya kontribusi RSUD Kota Bogor terhadap kepentingan sosial.
PENULIS : PATRICK (Mahasiswa Magister IBM asmi Jakarta)
Sebelum kita mengulas lebih jauh, penting untuk memahami bahwa RSUD Kota Bogor merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 79 Tahun 2018, BLUD adalah Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya BLUD.
Dari amanat undang-undang tersebut jelas bahwa RSUD sebagai lembaga kesehatan pemerintah mempunyai tanggung jawab sosial dalam memberikan pelayanan kesehatan. Sebagai BLUD, RSUD tidak boleh berorientasi penuh pada kepentingan profit. Kalaupun ada keuntungan yang didapat, diprioritaskan untuk peningkatan pelayanan. Landasan hukum itulah yang menjadikan pandangan RSUD sebagai BLUD berbeda dengan BUMD yang berorientasi pada profit semata.
Untuk itu penting bagi kita memahami bila BLUD dan BUMD merupakan dua jenis entitas yang berbeda baik dari segi pengelolaan keuangan, orientasi dan peranan dalam pemerintah daerah.
Maka, apabila kita mengulas kerugian yang dialami oleh RSUD Kota Bogor. Kita juga perlu menyelami sejauh mana peranan sosial RSUD Kota Bogor dalam memberikan layanan kesehatan.
Pada pemberitaan media Radar Bogor Kamis (24/7/2025), Direktur RSUD Kota Bogor, dr. Ilham Chaidir mengungkapkan bahwa kerugian RSUD sebagian besar berasal dari tindakan operasi yang dilakukan. Pada tahun 2024, tercatat terdapat 8000 tindakan operasi. Sebanyak 5000 merupakan pasien operasi cito atau pasien yang harus mendapatkan penanganan cepat, dan 3.000 lebih merupakan operasi elektif. Pasien yang dioperasi selama tahun 2024, 98 persennya merupakan pasien BPJS.
Sebagai contoh pasien dengan pemasangan implant pada kasus patah tulang dengan biling tagihanya sebesar Rp42 juta, tetapi hanya dapat di
-claim Rp8 juta. Sisa pembayarannya menjadi tanggungan rumah sakit. Dari sisi ekonomi jelas RSUD merugi senilai Rp.34 juta. Namun dari sisi sosial, RSUD Kota Bogor sebagai representasi dari Pemerintah Kota Bogor telah menjalankan fungsi sosialnya dengan baik dalam memberikan akses kemudahan layanan kesehatan kepada masyarakat.
Contoh kasus kedua dalam ungkapan Direktur RSUD Kota Bogor mengenai pasien bayi yang masuk layanan NICU selama satu bulan lebih dengan biling tagihanya sebesar Rp112 juta, namun klaim pembayaranya hanya sebesar Rp15 juta.
Mari kita bayangkan, bilamana RSUD Kota Bogor berorientasi penuh pada kepentingan profit. Bukan hanya bayi yang menjerit, namun keluarga besar si bayi juga ikut menderita, seperti jatuh tertimpa tangga. Sudah dilanda musibah, lalu dihantam dengan beban biaya.
Namun atas dasar keselamatan pasien, mutu layanan, dan program kesehatan ibu dan anak yang menjadi program prioritas pemerintah, maka RSUD Kota Bogor berani mengambil langkah strategis dengan bersedia merugi atas nama kemanusiaan.
Dalam kasus seperti ini, masyarakat hanya percaya bila segala sesuatunya telah dicover oleh BPJS. Masyarakat tidak paham, bila BPJS menerapkan sistem paket yang tertera pada Indonesian Case Based Groups (INA-CBG’s) dalam sistem pembayarannya.
Untuk diketahui, INA-CBG’s merupakan sistem pembayaran yang digunakan oleh BPJS Kesehatan kepada Rumah Sakit. Melalui sistem tersebut, BPJS Kesehatan telah menentukan tarif pelayanan berdasarkan jenis penyakit.
Sistem ini mengelompokkan berbagai diagnosis penyakit menjadi kelompok-kelompok tertentu, dan setiap kelompok memiliki tarif yang berbeda. Dengan INA-CBGs, BPJS Kesehatan membayar faskes berdasarkan tarif yang telah ditentukan untuk setiap kelompok diagnosis, bukan berdasarkan biaya sebenarnya yang dikeluarkan faskes.
Jadi ketika pembayaran melebihi batas yang ditentukan BPJS, maka pilihannya adalah pengguna BPJS harus membayar biaya kelebihan limit tersebut, atau RS yang menanggung beban biaya tersebut. .
Sebagaimana pernyataan Direktur RSUD Kota Bogor yang mengatakan “Rumah sakit ini banyak mensubsidi pasien-pasien. Belum lagi pasien dengan diagnosa kanker, jantung, stroke, uro-nefrologi dan kesehatan Ibu dan Anak (KIA) ini biayanya tinggi”.
Penulis meyakini bila kasus yang diuraikan diatas terjadi di RS swasta, maka jangan harap over pembiayaan perawatan akan ditanggung RS. Biaya itu pasti akan dibebankan kepada pengguna layanan. Tentunya sikap ksatria dari RSUD Kota Bogor perlu diapresiasi. Kenapa?, karena RS milik Pemkot Bogor ini, tidak tumbuh sebagai RS yang matrealistik.
Namun disisi lain, penulis juga menganggap penting untuk mengendalikan peranan sosial yang dilakukan. Jangan sampai, aksi tersebut justru menganggu operasional RS.
Persoalan hutang pada RS, tidak hanya terjadi di Kota Bogor. Melainkan, juga dialami oleh banyak RSUD lain di Indonesia. RSUD Kota Bogor terjebak dalam dilema antara menjalankan mandat sosialnya sebagai BLUD dan tekanan finansial yang harus ditanggung. Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi hal ini?
Pertama, perlu diakui bahwa sistem pembiayaan kesehatan melalui BPJS dengan mekanisme INA-CBG’s memang belum sepenuhnya ideal. Tarif yang ditetapkan seringkali tidak sebanding dengan biaya riil yang dikeluarkan rumah sakit, terutama untuk kasus-kasus berat seperti kanker, jantung, atau perawatan NICU. Jika tidak ada intervensi kebijakan, beban ini akan terus menumpuk dan menggerus sustainability operasional RSUD.
Kedua, perlu ada evaluasi terhadap model pendanaan BLUD. Selama ini, BLUD diharapkan bisa mandiri secara finansial, namun di sisi lain tidak boleh mengejar keuntungan. Apakah mungkin sebuah institusi terus bertahan jika terus merugi? Di beberapa daerah, solusi yang diterapkan adalah dengan memberikan subsidi silang dari APBD atau kerja sama dengan pihak ketiga (CSR, universitas, atau lembaga donor). Namun, hal ini membutuhkan komitmen politik yang kuat dari pemangku kebijakan.
Ketiga, transparansi dan efisiensi pengelolaan RSUD harus ditingkatkan. Meskipun RSUD memiliki tanggung jawab sosial, bukan berarti manajemen keuangannya bisa diabaikan. Digitalisasi layanan bisa menjadi langkah untuk meminimalisir kebocoran anggaran. Dan langkah ini telah dilakukan RSUD Kota Bogor dengan menerapkan sistem E-BLUD.
Keempat, meningkatkan kunjungan pasien umum di RSUD Kota Bogor. Sebagaimana diketahui bahwa pengunjung RSUD Kota Bogor 96 persen adalah pasien BPJS. Dengan segudang permasalahan proses pembayaran BPJS, maka kondisi ini akan menganggu cash flow RSUD Kota Bogor yang pangsa pasarnya fokus pada pasien BPJS. Maka dari itu perlu strategi untuk menarik minat pasien umun untuk datang ke RSUD. Semisal dengan membuka executive clinic, klinik kecantikan, menerapkan harga yg kompetitif dan menarik, serta menggenjot digital marketing dan pengembangan bisnis baru. Langkah RSUD Kota Bogor yang akan membuka layanan telemedicine pada Agustus 2025 ini, tentunya menjadi upaya nyata untuk mendongkrak kunjungan pasien umum.
Terakhir, perlu edukasi kepada masyarakat bahwa layanan kesehatan berkualitas tidak selalu gratis, tetapi harus berkeadilan. Masyarakat harus memahami bahwa ada biaya besar di balik layanan RSUD, dan jika BPJS tidak mencukupi, maka diperlukan skema pendanaan lain agar RSUD tidak kolaps.
Apa yang terjadi pada RSUD Kota Bogor hari ini adalah cerminan dari masalah sistemik di sektor kesehatan Indonesia. Solusinya tidak bisa parsial, tetapi harus holistik, dengan melibatkan pemerintah pusat, daerah, BPJS, dan masyarakat. Jika tidak, maka yang terjadi adalah trade-off antara kemanusiaan dan keberlanjutan finansial, dan pada akhirnya, rakyat kecil yang akan menjadi korban.