jurnalinspirasi.co.id – Kebijakan pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri soal pembebasan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pembangunan 3 juta rumah, mendapat respon Anggota Fraksi PKS DPRD Kota Bogor, Endah Purwanti.
Menurutnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) harus melakukan inovasi untuk menekan lost potensi pendapatan dari BPHTB hingga 10 persen dari perkiraan Bapenda yang mencapai 25 persen.
“Harus ada inovasi untuk menekan lost potensi. Kalau 2025 BPHTB ditarget Rp304 miliar, bila lost potensi 25 persen, artinya kita kehilangan pendapatan Rp65 miliar. Sedangkan pendapatan terbesar Kota Bogor dari BPHTB,” ujar Endah kepada wartawan.
Menurut Endah, apabila aturan teknis telah ditetapkan, Pemkot Bogor harus segera melakukan sosialisasi ke pengembang mengenai hal itu, terutama dalam rangka berkompromi menekan agar lost potensi tak lebih dari 10 persen.
Endah menyatakan bahwa secara jujur kebijakan membebaskan BPHTB dan PBG akan merugikan Kota Bogor dalam sisi pendapatan daerah.
“Jujur sudah pasti merugikan, karena pendapatan Kota Bogor paling besar dari BPHTB. Tetapi karena ini kebijakan pusat, mau tak mau kita harus mengikuti,” ungkap dia.
Endah juga menyebut bahwa seharusnya kategori Rumah Tinggal Sederhana (RTS) hanya untuk luas lantai 21 meter persegi.
“Kalau dulu yang namanya RTS itu luas bangunan 21 meter persegi. Kami juga khawatir ketika PBG dihapus bangunan liar (bangli) akan menjamur, karena dalam SKB itu ada kategori rumah yang dibangun swadaya,” jelasnya.
“Harusnya sih yang dihapus jangan PBG tapi BPHTB saja,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Penagihan dan Pengendalian pada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Bogor, Anang Yusuf mengatakan bahwa pihaknya bersama Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan dan Pemukiman (Disperumkim), Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), dan Bagian Hukum tengah menggodok soal aturan teknis.
Sebab, kata Anang, dalam SKB tersebut tertuang bahwa program tiga juta rumah hanya diperuntukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan Rp7 juta bagi mereka yang belum berkeluarga dan Rp8 juta untuk yang sudah menikah.
“Selain itu, untuk masuk dalam program tersebut hitungan luas lantai harus 36 meter persegi untuk rumah susun dan rumah tapak (dibangun menapak langsung di tanah) yang dibangun oleh developer. Kemudian 48 meter persegi untuk rumah yang dibangun mandiri,” ujar Anang.
Menurut dia, meski dalam SKB itu tak di atur mengenai luasan tanah, namun pihaknya saat ini masih mematangkan agar tak salah sasaran.
“Salah satunya kami akan mengecek sertifikat, kalau luas tanah 100 meter persegi luas lantai 36 meter persegi ya tidak bisa. Apalagi kalau penghasilan melewati batas yang ditentukan. Tapi sekarang masih dirumuskan,” jelasnya.
Intinya, sambung Anang, untuk dapat mengikuti program 3 juta rumah, masyarakat harus memenuhi dua kriteria yakni soal pendapatan dan luasan lantai bangunan.
Selain itu, kata Anang, pihaknya juga harus menghitung lost potensi BPHTB akibat kebijakan tersebut.
“Makanya kami lihat dulu berapa kebutuhan rumah di Kota Bogor. Ya kalau untuk perkiraan sementara lost potensi dari BPHTB bisa 25 persen,” katanya.
Ketika disinggung mengenai target pendapatan BPHTB pada 2025 mendatang. Anang menegaskan bahwa Pemkot Bogor menargetkan sebesar Rp304 miliar.
** Fredy Kristianto