Home Edukasi Autokritik Terhadap Peranan ICMI

Autokritik Terhadap Peranan ICMI

Apendi Arsyad (AA)

JURNAL Inspirasi – Menarik membaca pesan-pesan dan berita-beserta aktivitas ICMI Pusat, di WAG Wankar ICMI. Dari sekian berita aktivitas MPP ICMI, yang mendapat perhatian adalah adanya kegiatan silaturrahmi Ketum ICMI dan jajarannya dengan Pimpinan Partai Politik (Parpol) Umat. Wajar kiranya memunculkan diskusi, mempertanyakan apakah ICMI mau berpolitik? Mudah-mudahan saya tak keliru menyimak berbagai pesan, yang bersahut-sahutan tersebut.

Saya terpanggil juga untuk berbagi (sharing) gagasan dan pendapat, mana tahu ada manfaatnya untuk menyamakan cara pandang antarsesama kita, atau persepsi internal kolektif aktivis MPP ICMI periode tahun 2022-2027.

Mohon izin saya bernarasi untuk meluruskan, ada kata-kata atau istilah ICMI agar masuk ke wilayah “politik praktis”. Kita harus open-mind, dan AD/ART bukan aturan yang kaku, “…seharusnya menyesuaikan situasi kekinian”.

Begini komentar saya. Dalam memahami gejala sosial, adanya “audiensi” pimpinan Parpol Umat ke MPP ICMI, atau sebaliknya. Agar kita tidak salah jalan dan tidak tersesat. Maka kembalilah kita ke Khittah ICMI thn 1990.!!!

Bedakan peran dan fungsi politik praktis sebagai intrumen untuk meraih jabatan dan kedudukan publik, dengan versus (vs) peran dan fungsi ICMI pada tataran politik tingkat tinggi (high politic), yang mewarnai dan berkontribusi dalam kebijakan publik (public policy).

Baca lagi bro Jas AD dan ART ICMI thn 2021, bahwa ICMI tetap concent and focused ke public policy.

Dalam AD ICMI pasal 7 (Kegiatan ICMI) ayat 2 disebutkan, ICMI “mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan penelitian dan pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik (public policy) serta berupaya merumuskan dan memecahkan berbagai masalah strategis lokal, regional, nasional dan global…”. Demikian bunyi pasal Kegiatan ICMI yang tersurat dalam AD ICMI.

Seandainya, ada diantara personal pengurus dan warga ICMI ingin berpolitik praktis, dipersilakan masuk ke Parpol yang ada sesuai seleranya. Janganlah membawa atribut dan bendera ICMI jika berkiprah Parpol tersebut. ICMI tidak beraffiliasi ke Parpol mana pun di negeri ini.

Pilihan yang bijak sesuai amanah konstitusi ICMI, AD dan ART kita harus dekat dengan semua Parpol tapi dengan jarak yang sama, tidak ada “anak emas dan anak tiri”, perlakukan mereka sebagai mitra yang sama dalam membangun umat, bangsa dan negara.

Dengan indefedensi keislaman, kecendekiawan dan keindonesiaan, insya Allah ketiga watak ICMI tersebut, kita bisa berkontribusi positif dan mewarnai secara proaktif public policy NKRI ini, bukan fasif “wait and see” sebagaimana kita lihat gesture MPP ICMI, fenomena 10 tahun terakhir hingga saat ini.

Barang tentu, kita sangat berharap, jangan terlalu lama MPP ICMI berperan sebagai pengamat, dan kita sudah waktunya menjadi pemain dalam merumuskan dan mengkoreksi public policy,  yang tampaknya semakin keluar dari sistem nilai dan norma Pancasila, apalagi Dinnul Islam, sudah banyak terdistorsi melayani kaum oligarky dan sekuler serta kontradiksi atau semakin menjauh dari akidah, syariah dan moral agama, etika dan akhlaq mulia sebagaimana firman Allah dalam Al Quranulkarim.

Sebut saja misalnya, yang dilewatkan tanpa “ICMI Voice” terbitnya RUU HIP yang melenceng dari Sila Ketuhanan Maha Esa, agak berbau komunisme yang didemo dengan maraknya oleh Ormas Islam; UU Cipta Kerja alias “Cilaka” menyediakan karpet merah bagi pemilik modal dan keset alas kaki bagi kaum buruh yang hingga didemo para buruh; UU Minerba yang kental pro-oligarky (kapitalist) yang mengabaikan BUMN dan Badan Usaha Koperasi; UU KPK untuk “pemanjaan” kalangan koruptor yang menjarah harta negara; UU kekerasan rumah tangga “keluarga” yang membuka ruang hidup bagi kaum Sodom/LGBT, dan terakhir UU tentang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang paradoks, ilusi dan halusinasi, etc etc.

MPP ICMI sibuk berwacana saja, “no action talk only (Nato)”. ICMI belum menunjukan gesture sebagai kelompok penekan (pressure group), kritis, dan akhirnya tidak diperhitungkan oleh the ruling party pada beberapa dasa warsa terakhir. Ummat Islam Indonesia kehilangan rumah besar tempat berlindung. Terpaan proses penetapan kebijakan publik yang dirumuskan tanpa menghiraukan aspirasi umat terus berjalan, keluar (bias) dari budaya demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demikian kuatnya hegemoni koalisi kekuatan politik di dalam forum parlemen pada era rezim Jokowi-Ma’ruf, dan bahkan isunya, disinyalir proses pengambilan keputusan publiknya, ditunggangi kepentingan para pemilik modal besar (oligarky) yang berhasil masuk dan akses ke lingkaran kekuasaan (the ruling party).

Saya pun tidak tahu mengapa demikian, “ICMI Voice” di publik tidak muncul dalam merespons, mengkritisi semua public policy itu?. Apakah para ilmuwan yang cerdas dan berpikir independen, kaum terdidik dan terpelajar, ikhlas (no think to lose) tanpa tergoda tahta dan harta, apakah telah semakin berkurang? atau sudah menghilang?, nihil sama sekali di jajaran person MPP ICMI di masa lalu dan atau sekarang? Dan kini lebih banyak atau didominasi mereka berwajah-berwatak pebisnis dan atau politisi yang diekspor Parpol untuk masuk ke habitat ICMI?.

Kita semua paham, watak pebisnis atau politisi itu, mereka berkecenderungan melihat sesuatu atau momen berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok afiliasinya, ofortunis, apa ini menguntungkan atau sebaliknya, jelas tampak lebih pragmatis dan transaksional. Hal ini tentunya sangat berbeda jauh dengan watak (karakter, tabiat) kaum intelektual (cendekiawan) apalagi menggunakan status dan predikat muslim. 

Mereka Cendikiawan Muslim (ulil albab) itu harus peduli akan nasib umat, terus berpikir, jelas dan tegas dalam bersikap dan berbuat atas landasan kebenaran sains (ipteks) dan keyakinan beragamanya, Dinnul Islam. Pola pikir ipteksnya dan imtaqnya berjalan seiring secara terintegrasi, tidak menjadi sosok pribadi yang terpecah/ split personality (ambigu, mendua dan munafik). Semoga perilaku buruk dan jahat yang menyimpang tersebut tidak ada, terhindar dari wadah ICMI. Wallahu ‘alam bissawab.

Hal ini akibat ICMI fasif bahkan alfa, absennya ICMI dalam public hearing di arena persidangan DPR RI, dan tidak mendekat memberikan masukan kepada Presiden RI untuk hal-hal strategis dan urgent.

Akibatnya marwah (dignity) ICMI, terasa agak menurun dan melemah belakangan ini. Inilah tugas kita saat ini, untuk melakukan penguatan kembali (revitalisasi) peran dan fungsi ICMI secara organisatoris dan kelembagaan dalam rangkaian kegiatan untuk berkontribusi cerdas membuat public policy yg sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasul Muhammad SAW. Kita buat gerak gerik (gesture) Pemerintah (umaro) sejalan dan senapas dengan kaum ulama dan watak cendekiawan muslim Indonesia.

Mengapa seharusnya demikian? Sebab Cendekiawan Muslim itu adalah perpanjangan tangan dari visi dan misi dari para Ulama.

Harap dibaca lagi AD dan ART ICMI produk Muktamar ke-7 di Bandung Desember 2021, dengan cermat, yang baik dan benar pasal demi pasal, dan Bab demi Bab. Sehingga kita tidak salah melangkah dalam mengarungi lautan samudera berbagai kepentingan politik di tanah air kita saat ini, yang begitu komplek dengan wujudnya multiparpol, berwarna-warni, berpotensi membuat kegaduhan.

Hal ini perlu kita sadari dan saling mengingatkan antar sesama fungsionaris, bahwa ICMI habitatnya para ilmuan, ulama, pekerja sosial, kaum profesional bahkan ada orang-orang yang masih aktif di Parpol (anggota DPR RI dan Ketua Umum Parpol), berafiliasi politik yang juga beragam (pluralistik).

Apabila kita salah membawa jati diri dan sikap ICMI secara ekslusif, bukan inklusi sosial, maka potensial akan terjadi perpecahan di ICMI. Jika demikian yang terjadi, sayang aset wadah perjuangan kaum intlektual dan abdi umat bisa-bisa hilang di bumi Nusantara.  

Jadi kita memang harus lebih bijak dan lebih berhati-hati membicarakan untuk masuk ke arena politik praktis yang sebenarnya. ICMI harus berjarak yang sama dengan semua  Parpol yang ada, dan proaktif memberikan pemikiran-pemikiran cerdasnya yang berbasis imtaq dan iptek yang terpadu kepada mereka. ICMI jangan masuk ke politik murahan (low politic) untuk mencari kursi dan materi harta, tetapi masuklah ke arena “high politic” yang menentukan arah kebijakan, strategi dan pendekatan pembangunan beserta sejumlah program aksi yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia.

Demikian, itulah khittah dan jati diri Pengabdian ICMI yang sebenarnya, yang wajib kita pahami dan laksanakan secara bersama-sama (kejemaahan).

Demikian narasi singkat untuk sumbang-saran dalam wacana pro-kontra peran ICMI dalam dunia politik. Mohon maaf juga, ada “auto-kritik” yang saya sampaikan dalam tulisan ini dengan niat yang tulus agar ICMI tetap bermanfaat untuk membela dan melindungi kepentingan ummat Islam dan bangsa agar terus berjaya. Jayalah ICMI kita, begitu bunyi salah satu bait dalam Hymne ICMI.

Syukron barakallah
Wabillahit taufik walhidayah wr wb
Wassalam

====✓✓✓
Dr.Ir.H.Apendi Arsyad,M.Si (Wasek Wankar MPP ICMI, Ketua Wanhat ICMI Orwilsus Bogor, dan salah seorang Pendiri ICMI di Malang 1990, serta Dosen-Pendiri Universitas Djuanda Bogor)

Exit mobile version