jurnalinspirasi.co.id – Saya membaca balasan postingan dengan dilantiknya AHY menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang pada Kabinet Pemerintahan RI era transisi Presiden RI Jokowi, ada yang komentar..”yang seneng Muldoko ya? Dulu mau ambil Demokrat biar bisa perkuat rombongan Jokowi, eh sekarang malah menyodorkannya..”.
Saya membacanya sambil berusaha memahami pesan moralnya. Sehubungan dengan itu, saya tertarik untuk bernarasi, apa dan mengapa Pimpinan Parpol sering “lompat pagar” masuk ke kandang lawan, untuk berkoalisi dengan cara membagi-bagi jatah Menteri RI dan Pimpinan Lembaga Negara RI lainnya. Diujung narasi ini saya akan sebutkan apa dampak buruknya terhadap praktik berdemokrasi dan terhambatnya membangun tata kelola Pemerintahan yang baik (good governance) akibat melemahnya kontrol “ceck and balance” kekuasaan dan kewenangan Presiden RI.
Demikian itulah pola berperilaku para politisi, dan Elite politik Indonesia, lompat pagar, pindah ke kubu lawan, memang selama ini kita saksikan yang abadi kepentingan kekuasaan (tahta). Para politisi kita wataknya superpragmatisme, hidup tanpa deologi dan tanpa integritas, etika dan moral tidak terlalu penting.
Ibaratnya..”. hari ini lawan, waktu mendatang menjadi teman, dan sebaliknya. Mereka orang lupa yang dia katakan janji-janji politiknya dalam visi dan misinya, yang sangat berbeda penekanannya masing-masing Paslon 01, 02 dan 03. Diucapkan sebelumnya pada waktu masa kampanye Pilpres RI 2024 ybl.
Walaupun ada rekam jejak informasi digital ttg omongan mereka dimasa lalu seperti misalnya SBY vs Muldoko, Jokowi vs Prabowo etc etc banyak lagi tokoh politik nasional, yang nirintegritas, berperilaku pura-pura apa yang mereka katakan.
Oleh karena itu saran saya kepada para pendukung (supporters) yang selama ini fanatik, bersiap mental lah ! jika ditinggal sang “idolanya”, pujaan hati diharapkan sebagai pembawa aspirasi politiknya, misalnya Capres ARB mengusung agenda politik kenegaraan ideology “perubahan untuk kebenaran dan keadilan”, kecuali anda berubah sikap perilaku pragmatisme lompat pagar tadi, yang dilakukan patron politik anda, idola dan pujaan anda.
Pengalaman pahit supporter politik yang saya narasikan tsb diatas, pernah terjadi pada Pemilu Pilpres thn 2019, dimana Paslon Capres RI PS dengan Sandiaga S Uno (SSU) bertarung melawan (versus=vs) Jokowi-Makruf Amin. Paslon PS-SSU didukung habis-habisan (all out) oleh sebagian “besar” umat Islam yakni para ulama, ustadz dan habaib.
Masih segar dalam ingatan kita, lompat pagarnya PS dalam rangkulan Jokowi. Padahal fanatisme dukungan terhadap Capres RI 2019 PS, sampai-sampai ada fatwa hasil ijmak yang mengatasnamakan para ulama, yang hasilnya mendukung paslon Capres PS dan Cawapres RI SSU.
Kemudian apa yang terjadi, kita saksikan PS dan SSU berkoalisi Partai Gerindra, dengan Ketumnya PS dengan PDIP pimpinan ibu Megawati Sukarno Putri. Kita masih ingat diplomasi “nasi goreng” ibu Megawati di rumahnya di jln Tengku Umar Jakarta, mengundang PS bersilaturrahmi dengan elite politik PDIP trah Soekarno.
Subhanallah hasilnya luar biasa, dimana proses politik lewat kampanye pilpres 2019 yang tadinya sangat menegangkan, terjadi polarisasi kekuatan “head to head” antara Capres RI 2019 PS (Gerindra beserta parpol koalisinya) vs Capres RI Jokowi (PDIP beserta parpol koalisinya) mereda “rujuk” dan aktif melakukan rekonsiliasi politik nasional.
Hasil rekonsialisasi politik antara PDIP dengan Gerindra pada thn 2019 tersebut, adalah dalam kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden RI Jokowi, PS “dihadiahi”jabatan Menhankam RI masa bakti tahun 2019-2024 hingga zaman Now, beberapa lama kemudian ada resufle kabinet direkrut lagi SSU (mantan Cawapres RI 2019 lawan tanding Paslon Jokowi pada Pilpres 2019) menjadi Menparindkraf RI hingga zaman Now juga.
Jadi pola permainan politik “cantik” ala Jokowi dengan strategi taktik, merangkul lawan politik tersebut sudah dipraktekan Presiden RI Jokowi sejak 9-10 thn lalu, begitulah “hebatnya” beliau.
Mereka bisa melupakan peristiwa komunikasi pahit dan panas ketika masa kampanye “polarisasi” tersebut yang keras dan menegangkan karena tajamnya perbedaan visi dan misi.
Nampaknya, statrgi taktik (stratak) politik yang pernah sukses “ala akomodasi” Jokowi ingin diterapkan lagi untuk membangun koalisi baru dalam Pemerintahan RI periode 5 tahun mendatang.
Dua hari lalu hari Senin tgl 19 Pebruari 2024, kita mensaksikan Presiden RI Jokowi cawe-cawe lagi, bermanuver, dengan mengundang Ketum Parpol Nasdem Surya Paloh, pengusung Capres RI ARB-Cak Imin (paslon Amin), untuk datang dan bertandang ke Istana negara Presiden RI di Jakarta. Hasilnya detailnya kita pun tak tahu persis, tetapi kita bisa tebak kira-kira point hasilnya dgn membaca artikel atau laporan wartawan HU Kompas Selasa tgl 20 Februari 2024 pada halaman ke 2, dimana Jokowi sedang berupaya melakukan politik akomodasi terhadap lawan-lawan politiknya.
Hal ini barangtentu sangat masuk akal, karena Jokowi menyadari seandainya kekuatan pengaruh Surya Paloh dengan Partai Nasdemnya dan Megawati dengan PDIP tidak terangkul dalam koalisi atau aliansi parpol yang mendukung pemerintahan paslon Presiden PS dan Cawapres RI 2024 GR putranya, jika menang, maka stabilitas politik di parlemen dan birokrasi kurang terjamin dan terganggu. Sesungguh cara berpikir jauh “kedepan” ini untuk Presiden RI Jokowi kita acungan jempol. Tetapi sayangnya?, apa yang beliau kerjakan prematuer dan bukan pada tempat dan waktunya.
Kembali ke narasi PS bergabung dengan “lawan”politiknya Jokowi pada pilpres 2019, 5 tahun lalu, yang kemudian menjadi kawannya, dan sangat akrab lagi hingga Pilpres RI 2024, dimana Presiden RI Jokowi cawe-cawe habis-habisan (all out) mendukung Capres RI PS, sekalipun beliau lakukan dengan melakukan “abuse of power”, demi kemenangan Paslon 02 PS-GR.
Faktanya dana APBN program BLT 380 Triliyun digelontorkan, dan Jokowi ikut turun ke lapangan di daerah perdesaan Jateng dan Jatim basis PDIP Paslon 03, dan basis suara PKB Paslon 01, etc etc begitu banyak manuper yg beliau kerjakan demi kemenangan Paslon.02 PS-GR. Hasilnya QC nyata “sukses” bagi PS, karena efek jaz Jokowi.
Demikian itulah gejala sosial politik di NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sedang terjadi beragam “anomali dan paradoks”, antaralain kedaulatan Rakyat dalam Pemilu pilpres RI thn 2019 ke Pemilu RI thn 2024, dikooptasi oleh Ketum Parpol.
Mereka lupa dengan komitmen visi, misi dan agenda materi kampanye yang mereka obral dihadapan rakyat pendukung dan simpatisannya.
Lantas apa yang terjadi, ekspresi kekecewaan atau pil pahit yang ditelan oleh para pendukung (supporters) Capres RI PS dan Cawapres RI SSU pada pemilu Pilpres 2019 pun tak terelakan dan sudah terjadi. PS dan SSU meninggalkan para ulama, ustadz dan habaib sebagai supporter fanatiknya. Bahkan PS pernah berkata di pertemuan kader Parpol.FSI besukan Jokowi, dan telah viral di medsos, bahwa PS berucap “saya menyesal adanya dukungan umat Islam”, beliau melupakan jasa baik dan suka-duka perjuangan umat Islam dalam membelanya sebagai Capres RI 2019.
Sekali lagi, begitulah gaya dan gerak-gerik (style and gusture) kaum elite politik kita di negeri ini, wataknya superpragmatisme, pribahasa lainnya yg terkenal “kacang lupa akan kulitnya”.
Sebenarnya banyak cerita peristiwa pertemanan vs perlawanan elite politik terjadi di Indonesia. Belakangan ini kita saksikan apa dan bagaimana serta mengapa Jokowi pecah kongsi dengan ibu asuhnya, guru politiknya Megawati Soekarno Putri menjelang Pemilu Pilpres 2024. Narasinya sudah sangat jelas informasinya yg beredar di mass media seperti koran HU Kompas, Koran Radar Bogor, Jurnal Bogor, dan majalah Tempo beberapa edisi yang sempat saya baca, watak para politisi “inkonsistensi”saling berselingkuh dan sikut sikutan, seolah-olah musuhan, tetapi kemudian “berkawan” merangkul lagi ala politik akomodasi sebagaimana dilaporkan HU Kompas.
Berdasarkan pengalaman lucu, aneh dan pahitnya bagi para supporter fanatik, maka saya menduga, berhipotesa perbuatan rangkul merangkul dengan mesra antar koalisi Parpol peserta Pemilu 2024 yang lulus treshold suara diatas 4 persen yang duduk di Parlemen, DPR RI, akan dibujuk rayu oleh Paslon Capres RI pemenang Pilpres RI 2024, dan kemungkinan besar bakal terjadi.
Saya pun tidak tahu bagaimana gusturenya Ketum Parpol PKS dan PKS pengusung dan pendukung Paslon 01 Capres dan Cawapres RI ARB-Cak Imin (Amin). Untuk Ketum Nasdem sudah rada-rada tampak sikapnya, bisa bertemu wicara dengan Presiden RI Jokowi, bentar lagi Cak Imin Ketum PKB yang pernah berkongsi dengan Jokowi, dan tergabung partainya dalam kabinet Jokowi, tidak seperti PKS, berada diluar Pemerintah RI sebagai opisisi minoritas.
Saya hanya mengingatkan bersiap-siap mentallah rakyat-massa pendukung parpol dan paslon Capres, seandainya mereka meninggalkan anda pendukung fanatik. Jika itu sampai terjadi, ya bersabar saja, seperti yang dilakoni PS lawan politik Jokowi, akhirnya bergabung di kabinet Indonesia Maju Presiden RI Jokowi thn 2019, dannkini akan dilanjutkan PS jika terpilih menjadi Presiden RI 2024-2029.
Memang peristiwa itu terasa amat pahit dan memilukan hati bagi para pendukungnya PS, karena mereka melompat pagar ke tempat lawan.
Ibaratnya, rakyat hanya dijadikan “kuda troya” untuk memenuhi syahwat haus kekuasaan para politisi dan pimpinan Parpol, atau ibaratnya…
“rakyat ramai-ramai mendorong mobil mogok (parpol)setelah jalan, mereka lupa siapa. Rakyat yang mendorong dan mendukungnya. Dia hanya berucap “daaah” sambil melambaikan tangan pertanda selamat tinggal kawan (good by my friends). Sampai ketemu lagi kita 5 tahun mendatang Pemilu Pilpres 2029…”daadaaa”. Demikian itulah akal bulus yang dipertontonkan dalam dinamika perpolitikan nasional, amat menyedihkan memang.
Sebenarnya menurut pendapat saya yang menggunakan akal sehat (akal tulus, bukan akal fulus dan bulus), sebaiknya bahkan seharusnya sikap yang cerdas dan bijak dari para Ketum Parpol yang kalah bersaing pada pemilu Pilpres RI 2024 janganlah “lompat pagar” untuk membantu membangun koalisi gemuk, dan hal itu dampak buruknya, akan mematikan praktik “ceck and balance” dan melumpuhkan sistem demokrasi Pancasila.
Karena kita paham dan berkeyakinan dengan demokrasilah satu-satu cara dan pendekatan untuk menciptakan “good governance” dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (civil society) dan masyarakat adil dan makmur bagi semua. Bukan masyarakat Indonesia yang dicengkram oleh oligarky power, kapitalistik-liberal baru (neolib) yang berlindung diketiak koalisi besar seperti regim Jokowi 5 tahun terakhir, yang berlangsung tanpa kontrol parlemen (DPR, DPD dan MPR RI yang mandul), karena anggota parlemennya hanya berbudaya ‘Yes Man”, bergaya 4-D, datang, duduk, diam dan duit, tanpa debat (bukan 5 D), hidup tanpa ideologi dan nirintegritas.
Jadi wajar terjadi begitu banyak RUU menjadi UU yang lolos dan ditetapkan yang kental kepentingan atau pro oligarky (pro asing dan aseng) dan mengabaikan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia.
Demikian narasi ringkas ini saya buat, dalam upaya penyadaran kita warga negara-bangsa, khususnya para supporter Paslon Capres RI yang fanatik, agar tetap mewaspadai gerak-gerik para elite politik yang tergabung dalam parpol peserta pemilu 2024, dikawal agar jangan menjadi “bajing luncat”.
Seandainya demikian terjadi, itu hak mereka yang telah melanggar etika dan moralitas. Kita pun hanya bisa mengelus dada, jangan lupa sholat dan sabar, seraya berdoa, semoga Allah SWT menunjukkan jalan kebenaran dan keadilan yang diridhoi-Nya.
Ingat janji dan firman Tuhan Allah bahwa ‘kebenaran pasti akan datang, sedangkan kebatilan pun pasti binasa”. Syukron barakallah
Wassalam
====✅✅✅
Penulis: Dr.Ir.H Apendi Arsyad, M.Si
(Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat MPW ICMI Orwil Khusus Bogor, Pendiri dan Dosen Senior (Assosiate Profesor) Universitas Djuanda Bogor, Konsultan proyek-proyek K/L negara, Pegiat dan Pengamat serta Kritikus konstruktif melalui tulisan-tulisannya di medsos)