Cibinong | Jurnal Bogor
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di Kabupaten Bogor masih belum berhasil. Pasalnya, dari 416 desa yang sudah membentuk BUMDes, baru 85 desa yang berhasil dalam mengelola BUMDes dan sudah bisa menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes) untuk desa itu sendiri. Namun 183 desa lainnya belum bisa menghasilkan PAD dan 148 desa lainnya bisa dikatakan gagal dalam mengelola BUMDes mereka.
Kepala Bidang Sarana Prasarana dan Kewilayahan Ekonomi Desa pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Mira Dewi Sitanggang tak menampik banyak BUMDes tak berhasil menjalankan usahanya, meski 416 desa di Kabupaten Bogor sudah seluruhnya membentuk BUMDes. “Baru ada 85 desa yang BUMDesnya sudah berjalan baik bahkan bisa menghasilkan PADes. Kemudian ada 183 BUMDes yang belum menghasilkan PADes atau bisa dibilang belum berjalan dengan baik,” kata Mira via WhatsApp, Senin (15/1).
Mira menyebut, kendala untuk BUMDes yang belum berjalan ialah karena restrukturisasi. Dimana mungkin ketika adanya pergantian kepala desa disitu ada pergantian staf dan pengurus bahkan lembaga, hingga harus mengulang semuanya dari nol kembali.
“ Untuk saat ini solusi yang ditawarkan Pemda Bogor ialah pendampingan dan pembinaan untuk BUMDes tersebut. Walaupun belum semuanya berjalan baik, ada 2 BUMDes yang sudah tembus sampai ke kancah internasional. Yakni BUMDes Megamendung dan Sukamakmur dalam usaha ekspor biji kopi,” terangnya.
Mira menargetkan untuk kedepannya, usaha milik desa tersebut dilakukan pembinaan khusus terutama dalam hal memperluas pemasaran. Lebih lanjut Mira menjelaskan, untuk BUMDes yang sudah terbentuk tapi tidak berjalan, sedangkan sudah ada anggaran yang masuk kesana, secara mekanisme pertanggungjawaban BUMDes tersaji dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).
“ Sejauh ini pengawasan DPMD terhadap pengembangan BUMDes ialah melakukan monitoring, evaluasi, pembinaan, fasilitas pelatihan dan rapat koordinasi,” terangnya.
Sebagian alasan BUMDes tidak berkembang, sambung Mira, ialah karena mentok di marketing atau pemasarannya. “Maka dari itu Pemda akan memfasilitasi BUMDes untuk berkolaborasi dengan pihak ke- 3,” tandasnya.
Seperti diketahui, BUMDes adalah badan usaha milik desa yang dikelola oleh Pemerintah Desa. Dimana pendirian BUMDes sesungguhnya telah diamanatkan sejak berlakukanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahkan oleh Undang-Undang sebelumnya Nomor 22 Tahun 1999. Bahkan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar menegaskan setiap desa hanya boleh memiliki satu Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa). Ketentuan ini juga berlaku di desa yang badan usahanya mengalami kevakuman dan tidak aktif.
Sementara Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Yusfitriadi mengatakan secara umum sudah sekitar 15 tahun ini desa sangat dimanjakan dengan berbagai macam anggaran yang turun ke Pemerintahan Desa. Tidak hanya sekedar anggaran dana desa, tapi juga dari Pemerintah Kabupaten Bogor menambahnya dengan dana Samisade. Sebetulnya di dalam anggaran-anggaran itu juga ada porsi untuk pengembangan Bumdes. Namun, problemnya ada 3 hal mengapa BUMDes itu tidak berkembang.
Pertama menurut Kang Yus biasa disapa, pemerintah menurunkan berbagai macam anggaran tidak disiapkan terlebih dahulu sistem tata kelolanya di desa. Pihak desa bahkan tidak punya akunting, tidak punya konsultan, hingga pada akhirnya anggaran-anggaran tersebut itu tidak tepat sasaran. Yang kedua tata kelola anggaran desa tersebut tidak dievaluasi secara komprehensif.
“ Misalnya saat anggaran itu untuk BUMDes harus jelas untuk apanya, apa untuk tata kelolanya, apa untuk permodalannya, apa untuk distribusinya, untuk pemasaaran atau untuk apanya ?. Masa sudah 12 tahun gak beres-beres,” kata Yusfitriadi.
Hal tersebut karena tidak ada alat ukur yang serius terkait dengan tata kelola dan manajemen dari desa tersebut. Adapun kegiatan peningkatan kapasitas itu terkadang harus dipertanyakan, apa yang dikuatkan dan apa yang ditingkatkan toh hasil dari pada peningkatan itu tidak terlihat signifikan, anggaran mereka hanya dihabiskan untuk penyuluhan-penyuluhan saja, namun tidak merubah angka peningkatan yang sudah ada.
“Harusnya desa itu jika ingin berkembang harus menciptakan SDM yang khusus, jika perlu disekolahkan agar nantinya sumber daya manusia terbaik di desa itu diberikan mandat untuk mengelola khusus di BUMDes,” tandasnya.
“ Dalam arti BUMDes berdiri itu hanya sekedar menggugurkan kewajiban aturan tidak ada yang mengatur, hingga tidak berkembang. Kecuali, kepala desanya cerdas dan berniat untuk memajukan ekonomi masyarakat desa tersebut,” tambahnya.
Hingga dampaknya apa, sambung Kang Yus, kesulitan pemerintah untuk meminta pertanggungjawaban kepad BUMDes yang tidak berjalan itu sulit, karena memag tidak ada tolak ukurnya. Dalam arti, BUMDes bisa menjadi salah satu ladang kebocoran anggaran. Apalagi di Kabupaten Bogor, baru 85 desa yang berhasil dari 416, berarti baru 20%-nya saja masih jauh dari kata sempurna.
“ Sebetulnya alat ukurnya apasih, bahkan sering kali yang dijadikan alat ukur oleh Inspektorat, Pemerintah Daerah ataupun kemudian juga BPK itu hal yang bersifat administrasi. Artinya kalau duit itu sudah diturunkan dan ada tanda terimanya itu sudah clear, begitu pun kemudian ketika terlihat casingnya itu dianggap selesai,” katanya.
Tanpa adanya kontinuitas pengawalan, pemantauan, sampai kepada kontinuitas treatmen yang berkembang dan tidak berkembang. PR pemerintah saat ini ialah harus ada alat ukur yang jelas untuk mengeluarkan dana desa yang dialirkan ke BUMDes. Sistem pemerintah saat ini secara konseptual sudah bagus dan menarik artinya kemajuan sebuah kawasan, sebuah daerah, sebuah kota, berawal dari desa, tapi tidak serta merta seperti itu harus ada SDM profesinal yang disiapkan.
“Saya berharap ada sebuah perencanaan yang utuh dan komprehensif juga penyiapan sistem dan sumber daya yang kuat jangan sampai dana turun gak ada yang ngurus, harus ada kontrol yang kuat dari berbagai pihak. Partisipasi masyarakat penuh dan pemerintah harus terbuka, begitu pun pendamping desa, yang saya lihat saat ini pendamping desa nyaris tidak ada gunanya. Terakhir adalah evaluasi, selama ini pemerintah tidak pernah terbuka terkait kegagalan yang terjadi pada BUMDes. Dimana letak gagalnya dan apa penyebanya itu seolah ditutupi dan dianggap sebagai aib, padahal jika itu dibuka secara umum boleh jadi akan ada masukan-masukan yang positif dari luar untuk kemajuan BUMDes tersebut,” pungkasnya.
(nay nur’ain)