Jurnalinspirasi.co.id – Membaca pesan di medsos, bahwa IPB University sudah miliki kebijakan nonskripsi sejak 2019. Itu setahu saya untuk fakultas dan prodi Vokasi, dulu Politeknik, memang aturannya cukup dgn membuat business plan, proyek, prototipe design…begitu mas Ludfi.
Tetapi berdasarkan UU Sisdiknas untuk jenjang sarjana S1, S2 dan S3 wajib melakukan riset dengan menggunakan metode penelitian ilmiah (metodologi) menghasilkan skripsi, tesis dan disertasi. Sehingga kita di universitas mendapat mata kuliah wajib, diantaranya metode ilmiah, statistik, teknik penulisan ilmiah/skripsi, sistem permodelan dan simulasi dll.
Demikian perintah UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dimana sesungguhnya ada 5 jenis pendidikan yaitu
1. Pendidikan umum
2. Pendidikan agama
3. Pendidikan kedinasan
4. Pendidikan ketrampilan (vokasi, politeknik) dan
5. Pendidikan ilmiah, yang melahirkan skripsi, tesis dan disertasi dari hasil riset ilmiah.
Mas Nadiem Menteri Dikbudristek RI, jika menghapus skripsi, tesis dan disertasi, cabut dan lapor dahulu ke DPR RI UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas untuk direvisi atau diganti.
Menteri negara tugas pokoknya atau mandatorinya menjalankan UU yang sah, bukan melabrak UU sebagaimana mas Menteri lakukan. Kepmen dan Permendikbudristek Nomor 53 tahun 2023 wajib merujuk ke UU Sisdiknas, jangan “seenaknya dewey” (liberalisme, spt MBKM).
Kebijakan dan regulasi mas Menteri ini sungguh berbahaya, dan merusak sendi-sendi dan atmosfer akademik di kampus, terutama di universitas yang menjunjung budaya ilmiah melalui riset.
Riset ini memang tugas berat, karena berpikir ilmiah perlu dana , alokasi waktu dan kapasitas intelektual serta integritas yang tinggi, menuntut best caracter (moral dan etik).
Bagi mereka, yang gemar memburu gelar, dengan perjokian, timses, plagiat, maunya instan, tanpa kerja keras, kemungkinan kemampuan IQ rendahan, maka mereka sangat senang dan gembiranya dihilangkan kewajiban membuat skripsi, tesis dan disertasi di kampus.
Mereka bersorak sorai, kini mereka “momok” tugas riset utk mendapat gelar sarjana, “dihapus” atau hukum disunatkan, bukan diwajibkan menurut UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang masih berlaku, belum dicabut.
Lebih jauh saya membayangkan dampak negstif dihapuskannya kewajiban membuat karya ilmiah skripsi, tesis dan disertasi di universitas akan menurunkan drastis mutu pendidikan di Indonesia.
Akibatnya daya saing SDM lulusan universitas akan menurun dan melemah. Dalam jangka menengah Indonesia kehilangan banyak periset, ilmuwan, pakar dan inovator-inovator unggulan, hasil perkembangan ipteks. Ipteks merupakan hasil dari pengembangan konsepsi dan teori, sedangkan teori diproduksi oleh kerja-kerja sungguh, teliti, telaten dan integritas para ilmuwan yang berpikir ilmiah.
Core value system watak ilmuwan yang bermindset ilmia inilah yang dirusak oleh kebijakan dan regulasi. Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM) dari mas Menteri Nadiem, yang “diamini” banyak Rektor PT Exellence di Indonesia.
Kita bisa membayangkan, lk 4000 PTS di Indonesia, akan terdampak buruk SDM lulusan. Mereka diwajibkan saja membuat tugas ilmiah skripsi, tesis dan disertasi, tetap saja sebagian melanggar dengan membuat karya ilmiah aspal, alias asli tetapi palsu melalui plagiat, timses dan perjokian. Lihat dan pelajari dari data Kemendikbudristek yang ada, yang pernah diberitakan di HU Kompas beberapa bulan yang lalu.
Apalagi ini Kepmen dan Permendikbudristek RI, skripsi, tesis dan disertasi diserahkan kepada Pemimpin PT, Universitas, kini regulasinya tidak lagi mewajibkan, akan tetapi mensunatkan. Ya saya kira-kira meraka pimpinan PTS akan bersegera menghapuskan tugas riset ilmiah, karena tugas pendidikan ilmiah itu momok bagi mereka yang bermotivasi berperadaban maju.
Akhirkan jumlah karya ilmiah, hasil riset ilmiah untuk dipublis di dalam jurnal nasional dan internasional, akan berkurang dan semakin langka. Padahal kebijakan dan regulasi pendidikan tinggi di tanah, tengah memacu para dosen PT dan peneliti Indonesia mempublikasikan hasil-hasil risetnya di jurnal-jurnal terkemuka dunia seperti Scopus dll.
Hal ini untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam publikasi ilmiah di dunia internasional, sebagai indikator suatu bangsa unggul dan berdaya saing. Bahkan persyaratan untuk mendapatkan gelar Profesor yang mengajar di PT sebagai dosen wajib memiliki publikasi ilmiah di jurnal internasional terakreditasi spt Scopus, dll.
Jadi Kepmen dan Permendikbudristek RI dari mas Menteri bersifat paradoks dan anomali, karena melabrak UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, yang sudah teruji dan bagus untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Sekarang mengapa dilanggar?
Demikian narasi singkat ini dibuat sebagai rasa cinta akan kemajuan bangsa dan negara. Orang bijak sering berpendapat bahwa untuk menghancurkan suatu bangsa dan negara, maka rusak saja sistem pendidikannya. Semoga hal ini tak terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Dan semoga Allah SWT melindungi dan menolong hamba-hamba-Nya yang berimtak dan gemar berbuat kebajikan, “beramar makruf nahi munkar”.
Syukron. Barakallah.
Wasallam
====✅✅✅
Penulis:
Dr.Ir.H.Apendi Arsyad, M.Si
(Pendiri dan Dosen Senior Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwilsus Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)