jurnalinspirasi.co.id – Melesetnya asumsi Silpa saat penyusunan APBD 2023, membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor mengalami defisit sebesar Rp147 miliar, sehingga membuat Pemkot terpaksa melakukan pergeseran anggaran, menuai sorotan publik.
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi mengatakan bahwa hal itu disinyalir lantaran buruknya perencanaan. Padahal, pola penganggaran pada pemerintah daerah melalui tahapan yang terstruktur.
“Sehingga seharusnya perencanaanya sudah matang. Dan direncanakan tidak hanya oleh eksekutif juga melibatkan lembaga legislatif. Karena salah satu peran lembaga legislatif adalah perang penganggaran. Jadi agak aneh jika pemerintah daerah memandang penganggarannya dengan pandangan perspektif atau persepsi,” ujar Yusfitriadi kepada wartawan, Senin (10/7).
Ia menilai, bila fenomena itu terlihat janggal, apalagi jika aparatur pemerintah daerah melihat anggaran dengan menduga-duga Silpa sehingga mengakibatkan defisit.
“Nomenklatur defisit itu yang akan menimbulkan opini liar. Terlebih diawali dengan prediksi silpa. Jangan-jangan terjadi malmanajemen anggaran, entah itu kebocoran maupun kesalahan penghitungan,” katanya.
Yus juga menilai bahwa wali kota terkesan lemah dalam mengendalikan proses penganggaran. Selain itu, fungsi legislatif terlihat kurang maksimal.
“Sebagaimana kita pahami bahwa peran legislatif selain penganggaran juga perang pengawasan. Bagaimana selama ini peran pengawasan lembaga legislatif, sehingga fenomena defisit tidak diantisipasi. Logikanya ketika komunikasi harmonis antara legislatif dan eksekutif, maka peran pengawasan akan berjalan optimal,” jelasnya.
Dengan demikian, sambungnya, hal-hal yang berpotensi masalah dalan penganggaran akan segera terindentifikasi. “Kalau masalah tersebut sudah teridentifikasi, maka akan segera tergambar antisipasi agar masalah tak muncul, termasuk masalah defisit anggaran,” ungkapnya.
Kata dia, wali kota harus berperan optimal dalam mengendalikan penganggaran. Sebab, salah satu peran pimpinan daerah adalah menarik anggaran non APBD, baik dalam bentuk anggaran pemerinrah pusat, anggaran pemerintah propinsi, anggaran yang bersifat program non government dan sebagainya.
Sehingga jika kepala daerah berperan optimal, seharusnya defisit anggaran tidak boleh terjadi. “Oleh karena itu, harus dibedah secara komprehensif terkait fenomena ini. Harus dilihat penyebab defisit. Apa betul hanya sekedar salah prediksi, atau terjadi inefisiensi. Atau terjadi malandministrasi anggaran,” tandasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Bogor, Evandy Dhani mengatakan bahwa langkah tersebut dilakukan berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
“Jadi bukan refocusing, tetapi pengendalian anggaran dan kegiatan serta manajemen kas yang dikendalikan. Sebab, di dalam DPA OPD ada rencana anggaran kas. Misalnya, pencairan di bulan
Januari dianggarkan dicairkan Rp10 ribu, kemudian Februari Rp15 ribu ternyata Januari nggak sanggup, lantas digeserlah ke Februari,” ucapnya.
Menurut Evandy, defisit terjadi lantaran saat penyusunan APBD 2023, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berasumsi bahwa ada Silpa sebesar Rp275 miliar. Namun, setelah diaudit BPK Silpa hanya Rp161 miliar.
“Jadi ada defisit Rp113 miliar, kemudian ditambah Silpa Irmak jadi totalnya Rp147 miliar. Selain itu, defisit juga terjadi karena pendapatan tak tercapai, sementara serapan anggaran belanja sangat maksimal,” katanya.
Pergeseran anggaran kegiatan, kata Evandy, rencananya akan digeser ke Desember, dengan catatan pendapatan bakal berjalan maksimal. “Kalau demikian baru akan direalisasikan. Kalau tidak akan dievaluasi di anggaran perubahan,” tegasnya.
Evandy menjelaskan, langkah tersebut harus dilakukan, mengingat KPK mengarahkan bila pembayaran kegiatan tidak boleh dibayarkan menyebrang tahun. “Kalau langkah pengendalian tidak dilakukan otomatis bisa berpengaruh pada pembayaran kegiatan, kemudian bisa juga berimbas ke TPP dan Tunkin ASN,” jelasnya.* Fredy Kristianto