JURNALINSPIRASI.CO.ID – Adanya pergantian nama hari Ahad ke Minggu didalam kalender nasional, yang viral di medsos dari cerita latar belakang sejarahnya kita paham sekarang. Inilah salah satu fakta sejarah, bahwa ada pertarungan sistem budaya Arab/Melayu-Islam (Nusantara) versus budaya Eropa/Portugis-Kristen. Islam Nusantara terjajah, sedang Kristen Eropa menjajah.
Hingga kini hegomoni budaya Barat-Eropa terus menggeroti budaya Melayu Islam di Indonesia, yang tersebar di daerah-daerah, tanpa sadar dan seolah-olah bukan masalah.
Rialitanya warisan (herritages) Kerajaan-kerajaan Melayu Islam, yang tersebar di seluruh wilayah NKRI, berupa peninggalan bangunan dan pekarangan-taman istana kerajaan dan benda-benda peninggalan (artefak) tidaklah terawat, rusak, runtuh dan akhirnya punah ditelan bumi.
Saya sudah mengamati faktanya di lapangan, kehancuran budaya Islam Melayu ini seperti yang saya tinjau, seperti Istana Maimun di Medan Sumut, istana melayu Islam Pontianak Kalbar, istana kerajaan Islam di Ternate Maluku Utara, kerajaan Buton Sultra, kerjaan Islam Pasai-Aceh, juga kerajaan Bima NTB, dll, tidaklah terawat, kayu-kayu bangunannya sudah lapuk, dan akhirnya roboh.
Hal ini akibat kelengahan dan ketidakpedulian (careless) dari para politisi muslim yang duduk di DPRD di daerah, mereka kurang bahkan tidak paham dengan pertarungan dan konflik budaya Islam vs nonIslam, terutama adanya agresifitas kristenisasi di Indonesia berjalan sejak lama di banyak sektor seperti perpolitikan, pertahanan-keamanan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri dll.
Akibat negatifnya dari pertarungan budaya berbasis agama ini memunculkan kebijakan dan regulasi (public policy) yang diskrimatif, yang memarginalkan umat Islam dengan mengikis secara pelan dan pasti simbol-simbol bahasa Arab, termasuk istilah kalender Ahad diganti Minggu sebagaimana isi vedeo yang viral ini.
Sebenarnya sudah banyak yang berubah dan diubah secara sistematis simbol-simbol budaya Islam Nusantara oleh birokrasi Pemerintahan yang sekular, ateis dan fobia anti Islam, antara lain tampak berupa politik anggaran untuk membangun dan atau merenovasi bangunan istana Melayu Islam- Nusantara, baik di pusat maupun di daerah, tidak mendapat tempat, ada ketidak berpihakan (don’t affirmatif policy).
Konyolnya para politisi Muslim berasal dari Parpol Islam atau partai yang berbasis umat Islam Indonesia seperti PKS, PPP, PKB, PAN dll kurang bahkan tidak paham dan tak mengerti apa dan bagaimana memperjuangkan aspirasi umat Islam guna menjaga marwah dan melestarikan simbol-simbol budaya Melayu Islam se Nusantara.
Salah satu caranya adalah adanya atau proaktif gerakan syiar dakwah Islam dan gelontorkan dana APBD untuk merenovasi bangunan peninggalan kerajaan-kerajaan Islam Melayu, yang doeloe megah dan berjasa dalam menyatukan berbagai etnis bangsa Nusantara membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kini bangunan kerajaan Melayu Islsm Nusantara banyak yang ditelantarkan dan terbengkalai, rusak, akhirnya roboh dan runtuh.
Padahal finalisasi perjuangan terbentuknya NKRI itu adalah mahakarya Pahnas Dr.Muhammad Natsir, Ketum Parpol Islam Masyumi yang menjadi Perdana Menteri RI, dengan mosi integral Natsir untuk kembali bersatu dalam wadah Indonesia Raya.
Akan tetapi sayang, para politisi Islam di parlemen, baik di pusat Senayan dan di daerah banyak lupa dan melupakan sejarah jasa para tokoh pahlawan Islam mengapa, apa dan bagaimana mereka berjuang membangun kebudayaan dan peradaban Islam di tanah air Indonesia, yang nampaknya kini lengah dan mengabaikan.
Mereka banyak disibukan dengan gaya hidup mewah (hedonist) dan tak punya arah yang jelas (disorientasi) yang kemudian mereka abai dan hilang marwahnya (dignity) untuk membela kepentingan umat Islam dengan berbagai program pembangunan dakwah Islamiyah, yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Biaya Daerah (APBD) dan negara (APBN).
Contoh kasus sebut saja Kota Bogor, dimana satu dasa warsa terakhir, Pemkot Bogor mempromosikan besar-besaran budaya Tiongkok-China (Klenteng-ibadah tapekong) dengan ajang acara ritual dan festival Cap Go Meh (CGM), yang semarak dan dibalut atau dibungkus mengatas-namakan budaya Nusantara.
Ini sangat jelas dan tegas menyimpang pemaknaannya, bahwa CGM bukan budaya Nusantara. CGM adalah budaya berasal dari dataran China-negeri Tiongkok sana.
Dengan perayaan CGM, mereka nampaknya ingin “menyalip dan menyingkirkan”, memarginalkan budaya Arab-Empang Bogor. Faktanya Kawasan Empang kurang mendapat perhatian pembangunan sarana-prasarananya, sehingga daerah ini dibiarkan “kumuh” (slum area).
Hal ini sangat berbeda jauh dengan perlakuan program pembangunan lingkungan Kawasan Pecinaan Jln Surya Kencana (Surken) Kota Bogor, dimana dijadikan pusat-tempat vestifal CGM diselenggarakan setiap tahun, dalam rangka merayakan Tahun Baru Cina (Imlek).
Pembangunan dan penataan sarana-prasarana publiknya di kawasan Surken Bogor didukung dana yang besar dari bantuan anggaran APBD Kota Bogor, APBD Jabar, dan bahkan APBN.
Berdasarkan gejala sosial yang diskrimatif public policy, saya pun bertanya kepada para politisi muslim yang manggung di DPRD Kota Bogor sepeti PKS, PPP, PKB dan PAN, kemana saja mereka? Apa yg mereka perbuat untuk umat Islam Bogor. Sebagai soko guru bangsa Indonesia yang ikut serta membangun NKRI.
Oleh karena itu, adanya inisiatif untuk mengembalikan Bogor Dayeuh Ulama, sudah seharusnya kita dukung bersama.
Memang benar, Bogor dalam fakta sejarah dibangun dan dibesarkan atas jasa-jasa dan karya para ulama Bogor, sebut saja diantaranya KH Falaq Pagentongan, KH Abdullah bin Nuh, KH.Soleh Iskandar, dll.
Mari kita marakan Kota Bogor setiap tahun Hijriah, tahun baru Islam dengan berbagai acara budaya Nusantara-Islam seperti festival Muharam- Istiqlal, talk show, pameran buku-buku Islam yang dulu sempat ada digelar di Masjid Raya Bogor, kini hilang, istikhosyah, dll.
Singkat kata “Kembalikan Bogor sebagai Dayeuh Ulama”, untuk menghindar atau mencegahkan umat Islam, terutama keturunan kita: anak, cucu dan cicit kita dari kemusrikan, kemunafikan, kefasikan dan kekafiran.
Kejadian yang menggerus kebudayaan dan peradaban Islam seperti perubahan nama hari Ahad ke Minggu didalam kalender nasional tidak terulang kembali di tanah air NKRI yang kita cintai ini.
Sekian dan terima kasih, semoga narasi singkat ini, hendaknya bisa memunculkan dan membangkitkan kesadaran baru untuk mempertahan marwah umat Islam Indonesia demi melestarikan jiwa dan semangat kebangsaan dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Syukron barakallah.
Wassalam
Penulis:
Dr.Ir H.Apendi Arsyad,MSi
(Pendiri dan Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, Wasek.Wankar ICMI Pusat, Pendiri dan Dosen Universitas Djuanda Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)