JURNAL INSPIRASI – Program Buy The Service (BTS) Biskita Trans Pakuan terus menuai polemik, mulai dari kerjasama hingga masalah pendapatan. Wali Kota Bogor, Bima Arya pun angkat bicara. Menurutnya, sejauh ini masih banyak pihak yang tak mengerti tentang program tersebut.
“Jadi nanyak yang belum paham program ini. Harus dipahami BTS ini program bantuan pusat melalui Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) untuk mendorong mobilitas kota yang bersifat subsidi melalui mekanisme kerjasama investasi,” ujar Bima kepada wartawan di Balai Kota, Senin (4/4).
Dengan demikian, otomatis adanya Kerjasama Operasional (KSO) antara Perusahaan Umum Daerah Jasa Transportasi dengan PT Kodjari, yang berperan dalam pengadaan aset.
Sementara untuk operasional gaji sopir dan ritase, sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPTJ. Selain itu, dalam BTS juga ada standarisasi pelayanan dengan aturan yang detail.
“Kemudian ada target ritase, jangkauan dan lainnya. Ada sanksi kalau bus terlambat, penumpang telat, bus baret,” ucap Bima.
Ditanya mengenai permasalahan keuntungan atas KSO tersebut seperti yang kerap disinggung DPRD. Bima menjelaskan bahwa masalah transportasi sangat berkaitan dengan pelayanan, dimana yang diuntungkan haruslah masyarakat. “Berbeda dengan PDAM jual air cari untung,” katanya.
Bima menegaskan, apabila ingin dirupiahkan silahkan saja dihitung, namun tak seperti itu pola pikirnya.
“Berkali-kali saya sampaikan, transportasi adalah subsidi, ini kan soal pelayanan, bukan tentang ngutip uang lalu untung sesekali,” jelasnya.
Dalam keeempatan itu, Bima juga membandingkan Kota Bogor dengan daerah seperti DKI Jakarta yang juga menerapkan subsidi dalam pelayanan transportasi. Ia pun menyebut, beberapa negara tidak ada yang untung dalam mengelola transportasi.
“Di banyak negara, nggak ada yang untung. Semuanya keluar juga. Gubernur Anies mengalokasikan 118 persen tambahan subsidi, yakni Rp4,3 triliun. Kalau orang yang mempertanyakan, nggak paham bila transportasi adalah pelayanan,” imbuh dia.
“Perumda Jasa Transportasi tak memiliki uang, yang punya Kodjari. Gimana caranya masyarakat untung, makanya kita ambil BTS. Resources, shelter, regulasi kita punya. Dishub dan perumda bisa koordinasi dengan organda dan lainnya. Anggaran untuk pelayanan, kita gandeng PT Kodjari, sehingga berbentuk KSO,” bebernya.
Bima menyebut, sejauh ini tidak ada pendapatan yang masuk dari BTS, sebab masih digratiskan. “Yang ada hanya transfer dari pusat untuk membeli operasional,” ucapnya.
Bima menegaskan bahwa ia akan mensosialisasikam ke DPRD, agar dapat satu frekuensi mengenai sistem BTS.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Perumda Jasa Transportasi, Lies Permana Lestari mengaku kesulitan dalam menjalankan program BTS lantaran pertama kali dilakukan. Selain itu, ia menegaskan, bila pihaknya tidak mengeluarkan uang dalam program BTS.
“Tidak pernah ada konsorsium, walaupun saat itu saya belum (jadi direktur) yang ada hanyalah KSO. Di awal PDJT itu BUMD yang dibebankan layani transportasi. Dengan PT Kodjari, kita sama sama laksanakan program BTS,” ungkapnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPRD, Ahmad Aswandi mengatakan bahwa PT Kodjari memenangkan lelang pada Buy The Service (BTS) pada 2022 ini.
Berdasarkan informasi yang dihimpun lelang BTS tahun ini senilai Rp43 miliar, dan diperkirakan akan cair pada April atau Mei 2022. Sebelumnya, di 2021 Kota Bogor juga memenangkan lelang BTS senilai Rp11 miliar dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ).
“Kita ketahui bahwa pemenang itu adalah PT Kodjari, bukan perumda. Artinya kodjari menaggandeng Perumda. Padahal kan konsep awal kita maunya Perumda yang jadi leader menggandeng Kodjari. Sekarang malah kebalik,” ujar pria yang akrab disapa Kiwong itu.
Ia menjelaskan bahwa perumda beralasan bahwa hal itu dilakukan lantaran perumda tidak masuk dalam penilaian lelang BTS, sehingga PT Kodjari didorong mengikuti lelang.
“Sekarang pemenangnya Kodjari, tapi jangan sampai merugikan perumda. Harus berbagi profit sharing yang real dan adil. Tak boleh memberatkan, kerjasama itu dibangun kepentingan dan kemajuam bersama,” kata Kiwong.
Politisi PPP ini juga menyampaikan, dengan kondisi terkini membuat skema bisnis perumda semakin tidak jelas, atau melenceng dari core business transportasi.
“Kalau kedepan harus ada subsidi penumpang dari APBD jelas berat. Sekarang kan masih ada subsidi dari BPTJ dengan hitungan ritase,” katanya.
Namun, kata Kiwong, hal itu justru merugikan Kota Bogor lantaran Biskita yang saat ini mengaspal masih sepi penumpang. “Kalau begitu dimana fungsi publiknya? Kalau subsidi dihitung ritase dengan berbagai macam hitungan BPTJ, ya merugikan. Subsidi berdasarkan penumpang itu lebih jelas,” ungkapnya.
Kiwong juga mempertanyakan mengenai kerjasama operasional (KSO) Biskita saat ini. Sebab, Kodjari merupakan pemenang tender BTS, bukan perumda.
“Apakah perjanjiannya itu sudah sama-sama menguntungkan kedua pihak. Atau hanya mengutungkan salah satu pihak,” tegasnya.
Politisi PPP ini menegaskan bahwa sejak awal DPRD meminta Perumda Jasa Transportask harus memiliki ruh pelayanan berupa profit yang didapat. “Itu nggak ketemu. Saya berharap ada perjanjian di KSO yang menguntungkan. Perumda juga bukan hanya berkutat di pelayanan tetapi mesti ada keuntungan yang didapat, jangan sampai rugi,” jelasnya.
Kiwong menegaskan bahwa pihaknya akan mendalami KSO di Biskita, sehingga bisa ditentukan arah anggaran Perumda Jasa Transportasi.** Fredy Kristianto