JURNAL INSPIRASI – Pemberhentian operasional Biskita Transpakuan oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), menimbulkan kekecewaan berbagai pihak, tak terkecuali Organda Kota Bogor. Hal itu lantaran berhenti mengaspalnya Biskita akan memberikan dampak luas dan efek domino besar bagi transportasi di ‘Kota Hujan’.
Bahkan, Organda khawatir program Bikita dapat kembali lagi ke titik nol seperti awal akan dioperasionalkan.
“Biasanya kalau sudah di stop berhenti, maka akan susah kembali beroperasional. Jadi kembali lagi ke nol. Organda Kota Bogor sangat kecewa dengan berhentinya operasional BisKita. Organda sudah melaksanakan tugasnya menjalankan konversi skema 3 banding 1 untuk mendukung BisKita dan mengawal kelancaran operasionalnya. Jadi, kami meminta kepastian dari Pemkot Bogor untuk kelanjutannya seperti apa, karena program konversi harus diselamatkan yaitu dari 3 angkot berubah menjadi 1 bis,” jelas Ketua Organda Kota Bogor, R. Ishack kepada wartawan, Rabu (5/1).
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Organda, Freddy Djuhardi menjelaskan, bahwa program BTS merupakan program Kemenhub dan BPTJ, melalui mekanisme pelelangan.
Menurut dia, sejak awal munculnya program BTS Organda sudah mempertanyakan apakah ada perlindungan untuk pemenang lelang. Apalagi KSO PDJT telah membeli 49 bis, merekrut karyawan, supir bis, mekanik dan pengawas lapangan, termasuk pegawai administrasi.
“Dengan berhentinya BTS paling lama satu bulan sejak 1 Januari 2022, bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap kewajiban menggaji karyawan dan kepada angsuran setiap bulan untuk 49 bis yang dioperasionalkan di Kota Bogor?,” katanya.
Ia menilai bahwa pemberhentian itu sangat merugikan anggota Organda Kota Bogor, apalagi Biskita sudah didukung oleh Organda lantaran adanya konversi 3 angkot menjadi 1 bis. “Pemerintah tidak boleh sembarangan melaksanakan perubahan aturan serta merta, dari awal harus ada masa transisi. Sehingga tidak merugikan operator BisKita, dalam hal ini PDJT selaku pemenang lelang dan dua perusahaan KSO, PT Lorena dan PT Kodjari,” jelasnya.
Terkait evaluasi dan perubahan sistem pembayaran dari layanan umum ke e-katalog, seharusnya BPTJ menerapkan masa transisi bukan menghentikan pengoperasionalan bis.
Organda menilai lemahnya komunikasi dari Pemkot Bogor kepada BPTJ, karena yang jadi korban para anggota Organda Kota Bogor dan masyarakat umum.
“Untuk kedepan, setiap perubahan harus dikomunikasi terlebih dulu kepada Organda, dikoordinasikan dampak maupun solusi sebelum adanya program perubahan regulasi. Sehingga tidak merugikan berbagai pihak,” ungkapnya.
Lebih lanjut, sambungnya, Organda meminta kepada Pemkot Bogor segera memberikan solusi untuk karyawan Biskita agar segera diselesaikan.
“Supaya jaminan hidupnya masih terjaga, selama bis berhenti. Organda berharap ada skema yang diambil pemerintah untuk segera mengoperasikan kembali BisKita, karena masyarakat sudah nyaman menggunakan angkutan massal tersebut,” harapnya.
Terkait tarif yang akan diterapkan BisKita apabila nanti dioperasionalkan kembali, Organda tetap meminta kepada BPTJ agar tarif Biskita tarifnya diatas tarif angkot. Atau sesuai dengan Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang diajukan oleh pemenang lelang yaitu PDJT. Karena angkot sudah mendukung BisKita, sehingga tarifnya jangan lebih rendah dari angkot. Karena Biskita menggunakan sistem pembayaran Buy The Service (BTS) yang dibayar setiap kilometer ketika berjalan.
“Soal tarif yang akan ditetapkan, harus lebih tinggi dari tangkot. Kami berharap Organda Kota Bogor dilibatkan menjadi tim dalam penentuan tarif untuk Biskita itu,” pungkasnya.
** Fredy Kristianto