Jakarta | Jurnal Inspirasi
Presiden Joko Widodo meleburkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pemerintah juga memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional dari Kemenristek menjadi sebuah lembaga otonom yang akan berada dibawah presiden.
Kemenristek memang memiliki sejarah yang panjang dalam birokrasi Republik Indonesia yang ada sejak Presiden Soekarno kemudian dihapus di era Jokowi sekarang ini.
Seperti diketahui, DPR RI telah menyetujui penggabungan dua kementerian itu pada rapat Paripurna DPR yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (9/4). Keputusan itu diambil setelah DPR menerima Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian. Surat itu kemudian dibahas dalam Rapat Konsultasi pengganti Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Kamis (8/4).
Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) / Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro pun merasa sedih dengan dileburnya Kemenristek ke Kemendikbud. Pasalnya dengan ada peleburan ini, maka tidak ada lagi Menteri Riset di Indonesia.
“Secara pribadi saya juga merasa tidak enak. Merasa sedih ya. Karena boleh dibilang saya jadi Menristek terakhir karena risteknya tidak lagi sebagai kementerian yang berdiri sendiri seperti dulu,” katanya dikutip dari akun youtube Ikatan Alumni Program Habibie Center (IABIE), Minggu (11/4).
“Seperti Ristekdikti pun, Risetnya pun di awal. Atau kementerian zaman Pak Habibie, Pak Kusmayanto dan seterusnya itu masih Menristek. Mungkin sebelumnya Pak Soemitro Djojohadikoesoemo juga Menteri Riset. Menteri riset pertama Soedjono Djoened Poesponegoro,” tuturnya.
Bambang mengatakan bahwa keputusan sudah diambil bahwa Kemenristek tak ada lagi. Dia mengaku belum tahu detailnya seperti apa. “Unfortunately itu keputusan yang sudah diambil. Dan ya saya belum tahu detailnya bagaimana. Yang pasti itulah yang akan berlangsung,” ungkapnya.
Dia juga tidak mengetahui bagaimana BRIN ke depannya. Dia juga belum tahu nasib lembaga penelitian non kementerian (LPNK) ke depannya. “Saya engga tahu BRINnya dengan format apa. Apa yang terjadi dengan LPNK saya juga sudah menebak. Karena kalau versi saya sejak dulu para LPNK tetap eksis sebagai institusi hanya status berubah dari yang LPNK yang sifatnya birokratis menjadi lembaga yang tidak birokratis,” katanya.
Dia juga mengungkap sejumlah fakta mengenai BRINÂ sejak berdiri pada 2019 lalu. Selama ini, ia menuturkan BRIN dilandasi dengan Peraturan Presiden (Perpres) yang bersifat sementara, yakni Perpres 74 tahun 2019 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional berlaku sampai 31 Desember 2019.
“Jadi kalau di sini ada para peserta yang dari BRIN pertama saya mohon maaf, karena selama setahun mereka tidak punya status yang jelas,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk Membangun Ekosistem Riset dan Inovasi, Minggu (11/4).
Sebetulnya, lanjut Bambang, Presiden Jokowi)telah menandatangani Perpres tentang BRIN pada Maret 2020 lalu. Sesuai ketentuan perundangan, setelah presiden menandatangani perpres, maka Kementerian Hukum dan HAM akan mengundangkan perpres tersebut, agar aturan tersebut menjadi efektif. Sayangnya, setahun berlalu Perpres tentang BRIN tersebut belum diundangkan.
“Sudah ditandatangani presiden 31 Maret 2020, tapi unfortunately, sampai setahun kemudian perpes tersebut tidak pernah diundangkan oleh Kemenkuham,” imbuhnya.
Ia menduga Perpres tentang BRIN tersebut tidak diundangkan lantaran ada sejumlah pihak yang ingin BRIN berdiri sendiri, terpisah dari Kemenristek. “Rupanya, penyebab tidak munculnya (Perpres tentang BRIN) adalah karena ada pihak yang inginkan bahwa BRIN harus terpisah dan BRIN katanya harusnya organisasi yang seharusnya melakukan penelitian secara konkrit,” tuturnya.
Namun, Bambang mengaku memiliki pendapat yang berbeda mengenai keberadaan BRIN. Menurutnya, BRIN merupakan badan yang berada di bawah kementerian. Ini serupa dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Perbedaan pendapat itupun akhirnya menemui jalan buntu.
“Ya kebetulan saya tidak terlalu favour cara itu sehingga ya akhirnya deadlock selama setahun, perpres itu tidak pernah keluar. Sampai akhirnya karena sudah setahun tentunya saya harus sampaikan bahwa ini tidak mungkin lagi diteruskan karena akan sangat sulit kementerian tanpa organisasi, sehingga akhirnya keputusannya dipisah,” terangnya.
Meskipun menerima keputusan pemisahan BRIN dari Kemenristek, ia mengaku mengusulkan agar Kemenristek tetap berdiri sendiri. Selain itu, ia mengusulkan agar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang saat ini berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk dimasukkan kembali sebagai bagian dari Kemenristek.
Dengan demikian, Kemenristek menjadi Kemenristekdikti seperti periode pertama kepemimpinan Jokowi pada 2014-2019. Menurutnya, Kemenristekdikti adalah kombinasi yang baik karena pendidikan tinggi sangat berkaitan dengan riset dan ilmu pengetahuan.
“Tapi rupanya usulan saya bukan usulan yang diambil, keputusan yang diambil adalah yang digabungkan ke Kemendikbud, karena Dikti ada di sana. Dikti tidak dikeluarkan tetap di disitu (Kemendikbud) dan Kemenristek yang akan gabung dengan Kemendikbud,” terangnya.
** ass