Jakarta | Jurnal Inspirasi
Polisi menahan pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu di Rutan Polda Metro Jaya selama 20 hari ke depan dengan alasan aspek objektif dan subjektif penyidik. “Keputusan untuk menahan HRS mempertimbangan aspek objektif dan subjektif penyidik. Secara objektif, ancaman hukuman dari pasal yang disangkakan kepada HRS lebih dari 5 tahun. Sementara objektif, agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan tidak mengulangi perbuatannya,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono.
Namun menurut pakar hukum tata negara dan pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf, pelanggar kebijakan pembatasan sosial berskala (PSBB) tidak bisa dipidana. Pasalnya, penerapan kebijakan PSBB mengacu kepada Peraturan Gubernur (Pergub). “Pelanggar PSBB itu tidak bisa dipidana,” kata Asep.
Dia mengatakan, ancaman pidana terhadap Habib Rizieq atas kasus tersebut tidak bisa dibenarkan. “Sanksi paling tinggi pelanggar PSBB itu denda untuk perseorangan dan pencabutan izin usaha bagi perusahaan. Jadi, kasus kerumunan massa HRS tidak bisa dipidana,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tutur Asep, memang disebutkan bahwa pelanggar dapat dikenai sanksi pidana. Namun, sanksi pidana itu dapat diterapkan jika perbuatan pelanggar terbukti menimbulkan wabah meluas sehingga tidak terkendali.
“Dalam konteks UU Nomor 6 Tahun 2018 memang ada pidana dengan catatan menimbulkan wabah meluas, tidak terkendali. Kata menimbulkan itu pun butuh pembuktian,” tutur Asep. “Tapi sekali lagi, dalam konteks Habib Rizieq Shihab, aturan yang digunakan bukan UU Kekarantinaan Kesehatan, melainkan pergub,” katanya.
Asep mengemukakan, publik kini sudah sangat geram menyaksikan penanganan Habib Rizieq oleh pemerintah, termasuk kepolisian. Bahkan, kondisi tersebut benar-benar menimbulkan kesan bahwa pemerintah dan polisi tidak adil di mata masyarakat.
“Publik sudah geram melihat pemerintah dan polisi menangani Habib Rizieq. Apalagi polisi terus-terusan memakai pasal-pasal pidana kepada Habib Rizieq. Publik pun akhirnya menilai pemerintah dan polisi sedang mempolitisasi hukum, sehingga kesan yang kini terbangun bahwa pemerintah dan polisi tidak adil,” ucapnya.
Menurut Asep, kondisi ini tak bisa terus dibiarkan karena bakal menimbulkan kegaduhan hingga berpotensi merusak kondusivitas. Bahkan, kontraproduktif dengan upaya penanggulangan pandemi Covid-19, termasuk pemulihan ekonomi yang kini terus digaungkan pemerintah. “Di satu sisi, pemerintah terus menyuarakan upaya penanganan pandemi, pemulihan ekonomi, hingga upaya menarik investasi. Tapi, dengan situasi yang gaduh seperti saat ini, hal itu menjadi kontraproduktif,” tutur Asep.
Agar kegaduhan segera mereda, Asep menyarankan pemerintah dan polisi segera melakukan tiga hal dalam penanganan kasus Habib Rizieq. Pertama, hukum jangan sampai dipelintir ke ranah politik.
Kedua, pemerintah segera membuka dialog dalam upaya rekonsiliasi. Ketiga, penerapan aturan hukum jangan melulu mengarah pada ancaman pidana. “Apalagi, sejak awal, Habib Rizieq sudah menyatakan sikap membuka dialog dengan pemerintah. Publik sudah tidak nyaman dengan situasi gaduh saat ini, perlu segera diakhiri,” tandasnya.
Pakar Hukum Tata Negara lainnya, Refly Harun juga menilai menilai pihak aparat sepertinya sudah menargetkan menangkap Habib Rizieq dan menahannya. Padahal, menurut Refli, pelanggaran yang dilakukan HRS sebenarnya tidak berimplikasi pada penahanan.
“Saya melihat dalam kasus ini ada perlakuan tidak adil kepada Habib Rizieq. Terlepas dari pihak-pihak yang tidak suka terhadap FPI, tetapi beliau adalah seorang ulama yang punya banyak pengikut,” kata Refly dalan kanal pribadinya di YouTube, Minggu (13/12).
Dia mengingatkan, pelanggaran Habib Rizieq sudah ditebusnya dengan membayar denda Rp 50 juta. Ini denda terbesar dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan. Habib Rizieq juga sudah membatalkan semua agenda dakwahnya. Bahkan harus kehilangan enam laskarnya.
“Pak Mahfud MD sendiri bilang pelanggaran kekarantinaan tidak berimplikasi pada penahanan. Selain itu pada saat kejadian pernikahan putri Habib Rizieq tidak ada petugas yang membubarkan. Yang ada justru dari Satgas Covid-19 BNPB membagikan masker,” tuturnya.
Refly berharap penahanan Habib Rizieq ini bukan sebagai target indikator kesuksesan kinerja Kapolda Metro Jaya. Sebab, bila itu memang jadi target kepolisian akan sangat disayangkan karena mengabaikan keadilan.
“Saya melihat ada ketidakadilan dalam kasus ini. Saya berharap kejadian ini tidak melupakan tragedi kemanusiaan yang menewaskan enam laskar FPI,” tegasnya.
Kasus penembakan enam laskar FPI, lanjutnya, harus diusut tuntas karena sampai saat ini masih menjadi misteri. Apakah mereka dibunuh atau aparat kepolisian melakukan upaya pembelaan karena diserang.
Sebaiknya, kata Refly, yang menangani kasus tersebut adalah tim independen karena polisi termasuk pihak yang berkepentingan.
“Sayangnya, Presiden Joko Widodo bergeming. Jangankan memerintahkan membentuk tim independen, mengucapkan belasungkawa terhadap korban saja tidak. Mudah-mudahan, Komnas HAM dan tim independen menuntaskan kasus penembakan enam laskar tersebut. Sekali lagi ini bukan karena suka atau tidak suka pada FPI tetapi ini merupakan tragedi kemanusiaan,” pungkas Refly Harun.
** ass