Jakarta | Jurnal Inspirasi
Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi bansos sembako yang ditujukan untuk keluarga miskin yang terdampak akibat wabah virus Corona (Covid-19). Politisi PDIP tersebut kini ditahan di rumah tahanan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur. Ada lima orang yang ditetapkan jadi tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Mensos Juliari dan dua PPK Kemensos yaitu Matheus dan Adi. Mereka berperan sebagai penerima
Lalu ada Ardian dan Harry sebagai pemberi. Sejauh ini baru tiga orang yang ditangkap dan ditahan, yakni Matheus, Ardian dan Harry. KPK menduga Mensos Juliari menerima Rp17 miliar diduga berasal dari dua kali periode proyek pengadaan bansos. Saat OTT, tim KPK menyita uang tunai yang simpan di dalam 7 koper, 3 tas ransel dan amplop kecil yang jumlahnya sekitar Rp14,5 miliar dalam pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing. Masing-masing yaknk sejumlah sekitar Rp11, 9 miliar, sekitar USD171,085 (setara Rp2,420 M), dan sekitar SGD23.000 (setara Rp243 juta).
Juliari adalah Mensos kedua setelah Idrus Marham, politisi Golkar di periode pertama pemerintahan Joko Widodo yang korupsi proyek pembangunan PLTU Riau-1 yang menerima suap Rp2,25 miliar dari salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.
“Diawali adanya pengadaan Bansos penanganan COVID-19 (virus korona) berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode,” ucap Ketua KPK, Firli Bahuri di Gedung KPK, Minggu (6/12).
Pada periode pertama penerimaan bansos, diduga adanya penerimaan hadiah sebesar Rp12 miliar. Uang dibagikan secara tunai oleh Matheus ke Juliari lewat Adi dengan nominal Rp8,2 miliar.
Pembagian juga diketahui oleh orang kepercayaan Juliari, Shelvy N, dan Eko. Juliari diduga telah membelanjakan uang itu untuk kepentingan pribadi. Lalu, pada periode kedua penyerahan bansos hal serupa terjdi. Dari Oktober hingga Desember 2020 KPK mencatat adanya pengumpulan fee sampai Rp8,8 miliar. Uang itu diduga akan kembali dibelanjakan oleh Juliari untuk kepentingan pribadinya.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Benny K Harman mengingatkan pernyataan Ketua KPK, Firli Bahuri yang akan menghukum mati koruptor. “KPK pernah ancam hukum mati koruptor Bansos, bagaimana nasib Mensos? Waktu beliau tegaskan itu di DPR, saya menganggapnya sebagai wekeup call untuk penyelenggara negara,” tulis Benny di akun Twitter @BennyHarmanID yang dikutip Minggu (6/12).
Anggota Komisi III DPR RI ini berharap, KPK tak berhenti melakukan pemeriksaan di Kemensos terkait Covid-19, namun masuk ke lembaga lain yang terkait dengan penanganan pandemi Covid-19. “Jangan sakiti rakyat. Kalau bisa masuk juga ke sektor lain terkait Covid. Rakyat monitor,” ujarnya.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri memastikan pihaknya terus menindak tegas para pelaku korupsi di tengah pandemi virus Corona. Ia bahkan menyatakan tidak akan segan-segan menuntut hukuman mati kepada pelaku yang mengorupsi anggaran Covid-19.
“Kami akan menyatakan sikap bahwa KPK tetap akan bertindak tegas dan sangat keras kepada para pelaku korupsi. Terutamanya, dalam keadaan penggunaan anggaran penanganan bencana. Kami menegakkan hukum yaitu pidana mati,” kata Firli dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR, Rabu, 29 April 2020 lalu.
Jenderal polisi bintang tiga ini menuturkan, keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi yang harus diprioritaskan. Apalagi di tengah bencana seperti pandemi Covid-19 sekarang ini. Karena itu, Firli menegaskan lembaganya akan berkomitmen memantau alokasi anggaran penanganan Covid-19 dan tak segan menuntut hukuman mati jika ada yang terbukti korupsi anggaran tersebut. “Maka bagi yang melakukan korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain, kita menegakkan hukum yaitu tuntutannya pidana mati,” ucap Firli.
Unsur-unsur, tutur Firli, diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pada Pasal 2 Ayat 2 UU itu, lanjut Firli sangat memungkinkan penerapan pidana mati. Artinya kata Firli, terhadap tersangka Juliari dkk tidak akan berhenti hanya pada penerapan pasal-pasal suap-menyuap.
“Di dalam ketentuan UU 31 Tahun 1999 itu Pasal 2 tentang pengadaan barang dan jasa, ada ayat 2, memang ada ancaman hukuman mati. Kita paham juga pandemi Covid ini dinyatakan oleh pemerintah bahwa ini adalah bencana non alam nasional. Sehingga tentu kita tidak berhenti sampai di sini apa yang kita lakukan,” tutur Firli.
Diduga dalam kasus ini pelaksanaan proyek tersebut dilakukan dengan cara penunjukkan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemenso melalui Matheus.
Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket bansos. Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar, yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari Peter Batubara melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari. Kalau Rp8,8 miliar dijumlahkan dengan Rp8,2 miliar, maka jatah dugaa suap untuk Juliari sebesar Rp17 miliar.
** ass