Ciomas | Jurnal Inspirasi
Siapapun dapat terlibat dan berperan penting terhadap kesembuhan pasien ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Psikiater atau dokter spesialis kejiwaan, dr. Yuniar, P.K,Sp.Kj (K), mengatakan bahwa pasien ODGJ dapat disembuhkan atau dipulihkan, tergantung bagaimana peranan dan dukungan lingkungan setempat.
“Masalah gangguan jiwa itu tidak hanya masalah obat, namun juga masalah sosial, masalah keluarga, dan masalah ketidak tahuan masyarakat terhadap pengobatan kami yang masih beranggapan bahwa gangguan jiwa itu hanya bisa dihadapi dengan ‘orang pintar’ atau lain sebagainya. Peran keluarga sangat penting, jika keluarganya ‘bagus’. Namun jika (keluarganya) dari awal sudah menolak, pasien tersebut akan semakin paranoid terhadap lingkungan sekitarnya. Gejala yang muncul juga tergantung bagaimana keluarga memperlakukan, sebab peran keluarga yang paling terdekat,” ujar dr. Yuniar, P.K,Sp.Kj (K), di Puskesmas Ciomas, baru-baru ini.
“Padahal kita tahu bahwa gangguan jiwa itu bisa disembuhkan, jika tidak disembuhkan mungkin dipulihkan. Sebab 2 kategori sembuh dan pulih itu berbeda, dikatakan sembuh yaitu ketika ia benar-benar tidak lagi mengkonsumsi obat, tapi jika dipulihkan yaitu ia masih mengkonsumsi obat namun fungsinya kembali seperti biasa. Kita selalu berharap kesembuhan, namun jika tidak sembuh kita berusaha untuk memulihkan dan menjaganya dengan baik,” jelasnya.
Oleh karena itu, Psikiater tersebut menegaskan bahwa ODGJ tetaplah manusia sebagaimana mestinya mereka harus diperlakukan dengan baik. Masyarakat tidak berhak merenggut kebebasan atau mengesampingkan hak pasien ODGJ dengan berstigma buruk. Sebab mereka tetap memiliki hak, salah satunya adalah hak untuk sembuh. Hal ini sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, secara umum disebutkan bahwa terjamin setiap orang dapat hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan kesehatan dengan penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
“Siapapun tidak bisa memilih, tidak ada orang yang ingin sakit, ia datang memang pada orang yang sudah ditakdirkan untuk sakit. Maka dari itu, kita sebagai orang yang sehat harus mendukung, jangan sampai mereka itu tidak dianggap atau di kesampingkan hak-haknya, salah satunya adalah hak untuk sehat, hak untuk usaha, hak untuk dapat berdaya di masyarakat. Karena ODGJ itu tidak hanya satu peran dari kesehatan saja, harus dari keluarganya, harus dari Dinas Sosialnya. Pilihannya adalah Rumah Sakit atau Dinas Sosial. Dinas Sosial juga tidak bisa merangkul semua karena keterbatasan, yang paling utama adalah pemberdayaan masyarakat,” ungkapnya.
“Dengan adanya kita disini, kita memberdayakan dan melibatkan apabila ada keluarga yang menolakpun akan kita dekati, lalu kita akan minta RT/RW setempat untuk terlibat. Karena ini sudah ada UU Kesehatan Jiwa, dimana apabila gangguan jiwa tidak diobati maka masyarakat akan mendapatkan sanksi atau hukuman. Artinya dia melanggar hak-hak asasi pasien tersebut. Jadi, orang yang seharusnya bisa mendapatkan pengobatan, bisa mendapatkan aset kesehatan, aset sosial, aset dukungan dan lain sebagainya. Jadi, itu sudah tercantum pada UU Kesehatan Jiwa,” tegasnya.
Sementara itu, Kabupaten Bogor memiliki program sosial untuk mendukung kesembuhan pasien ODGJ. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk memberikan kesempatan kepada pasien agar dapat mendapatkan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
“Selain itu, kita juga ada program sosial dari Kabupaten Bogor, jika pasiennya sudah baik maka psikiater akan merekomendasikan bahwa ia membutuhkan dukukan yang lain. Dukungan tersebut yaitu salah satunya dengan membuka usaha, untuk pemberdayaan di masyarakat, atau untuk dikembalikan ia sebagaimana fungsinya. Sebab jangan sampai ada stigma di masyarakat jika ODGJ itu tidak bisa bekerja lagi, atau menjadi beban untuk keluarganya. Oleh karena itu, kita berniat untuk memandirikan kembali pasien ODGJ ini kepada masyarakat dan diterima oleh masyarakat,” tutup dr. Yuniar, P.K,Sp.Kj (K).
** M. Fadhil Mauludi [MG/UIK-Jb]