Jakarta | Jurnal Inspirasi
Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan jargon 3T, tracing, testing dan treatment sejak Juli lalu tak jitu. Saat itu, pada 31 Juli, jumlah kasus positif di Indonesia baru 108.376 dengan rata-rata kasus harian berkisar 2.000 hingga 3.000 kasus. Namun kini, pandemi virus Corona (Covid-19) di Indonesia memasuki bulan ketujuh grafik penambahan kasus tak kunjung melandai dengan total kasus per 27 September menembus angka 275.213 kasus.
Seiring waktu jurus Jokowi tersebut tak juga terlihat hasilnya. Beberapa hari terakhir penambahan kasus harian justru kian meningkat hingga 4.000-an per hari. Tak hanya jurus 3T yang tumpul. Prediksi Jokowi soal puncak corona juga beberapa kali meleset. Teranyar Jokowi pernah memprediksi puncaknya akan terjadi sekitar Agustus-September.
Tapi menjelang akhir September, kasus harian bolak-balik menembus rekor. Dari yang tadinya kasus harian berkisar di angka seribu bulan lalu, kini jumlahnya naik empat kali lipat hingga lebih dari empat ribu.
Ahli epidemiologi dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menduga wabah belum juga terbendung karena penerapan 3T yang tidak tepat dan efektif. Ia mengatakan pemerintah tak punya konsep yang jelas dalam menerapkan 3T.
“Kesalahan terbesar [pemerintah] adalah pengendalian tanpa konsep dan sebatas jargon. Jargon 3M, 3T. Itu sudah usang, sudah hampir tujuh bulan dilakukan hasilnya tidak ada perubahan. Arahnya semrawut, tidak jelas,” katanya dikutip dari CNN, Selasa (29/9).
Ia menjelaskan terdapat tiga pendekatan yang seharusnya dilakukan untuk mengendalikan wabah, yakni mencegah, mendeteksi dan mengendalikan. Dalam hal ini testing dan tracing termasuk upaya mendeteksi, dan treatment sebagai upaya pengendalian.
Menurutnya, upaya pengendalian merupakan kunci menekan penambahan virus yang perlu ditingkatkan. Ia menilai peningkatan kapasitas testing dan menerapkan protokol kesehatan bakal percuma jika pengendalian virus tak maksimal. Dengan kata lain 3T berperan besar.
“Contohnya di DKI Jakarta, kapasitas testing DKI sudah 4-5 kali lebih tinggi dari target sejak minggu ketujuh atau minggu ke 18. Tapi secara epidemiologi sampai hari ini apakah kasus turun? Tidak ternyata. Jadi bukan testing yang membuat rantai penularan terputus, tapi bagaimana isolasi dan karantina diterapkan dengan disiplin,” jelasnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tracing adalah upaya mengidentifikasi, menilai dan mengelola orang-orang yang terpapar suatu penyakit untuk mencegah penularan lebih lanjut. Caranya dengan mengidentifikasi orang yang kontak dengan pasien terkonfirmasi positif selama 2-14 hari sebelum gejala.
Setiap kontak kemudian dihubungi, dipantau kondisi kesehatannya, serta diminta melakukan isolasi mandiri. Pemantauan dilakukan dalam waktu 14 hari sejak orang tersebut kontak dengan pasien corona.
Namun langkah ini tidak seperti pengalaman yang dilalui Bayu dan Anto (bukan nama sebenarnya). Keduanya sama-sama memiliki anggota keluarga serumah yang sempat terpapar corona tahun ini. Kasus Bayu terjadi di Surabaya. Ibu Bayu dikonfirmasi positif melalui tes swab pada Juli lalu.
Wanita yang sudah berusia 79 tahun itu ketahuan terpapar virus setelah tiga hari menunjukkan gejala demam dan batuk kering. Sebelumnya, ia sempat perawatan rambut ke salon di Surabaya, Jawa Timur.
Namun Bayu tak pernah diwawancara dinas kesehatan atau puskesmas setempat. Orang rumah hanya menerima satu kali telepon dari pihak puskesmas untuk menanyakan jumlah orang di rumah dan merekomendasikan tes swab di puskesmas.
“Pas itu yang nerima telepon orang rumah. Intinya klarifikasi apakah benar ada yang positif. Di rumah ada berapa orang, terus mau ke rumah dan semprot disinfektan. Tapi sih nggak pernah ke rumah,” ceritanya.
Ibunya pun tak pernah diwawancara langsung oleh pihak puskesmas atau dinas kesehatan. Bayu menduga mungkin karena ibunya sudah dikarantina. Namun beberapa hari sebelum menunjukkan gejala, ibunya sempat arisan bersama teman-teman.
Sedangkan Anto, warga Jakarta, menerima telepon dari pihak kelurahan rumahnya ketika ibunya dinyatakan positif. Terdapat tujuh orang lain di rumahnya yang diminta melakukan rapid test berkala di Wisma Atlet, Jakarta.
Setelah beberapa kali rapid test, mereka dirujuk ke Puskesmas untuk tes swab. Hasilnya, semua negatif kecuali adik paling bungsunya. Ia tertular dan harus mengisolasi diri.
Namun sang adik tidak pernah diwawancara pihak puskesmas ataupun dinas kesehatan setelah terkonfirmasi positif hingga sembuh. Ibu Bayu pun tak pernah ditanya terkait kontak, padahal masih bekerja di kantor saat itu.
“Enggak ditanya nyokap kontak sama siapa aja. Intinya orang rumah aja yang dites. Adik saya malah enggak ditanyakan sama sekali pernah berhubungan sama siapa aja,” katanya.
Minimnya jumlah tenaga medis dalam mengemban misi 3T ini, ditambah kurangnya fasilitas untuk menguji sampel ditengarai jadi penyebab jurus 3T Jokowi menguap menjadi jargon. Karena minim, mereka kedodoran melakukan 3T. Hal itu diakui oleh Juru bicara Satuan Tugas Covid-19 Kabupaten Bogor, Syarifah Sofiah.
Setiap harinya, kata Syarifah, Kabupaten Bogor bisa mendapati 57 kasus positif yang tersebar di 40 kecamatan. Sedangkan untuk melakukan tracing per kasus dibutuhkan waktu dan setidaknya dua sampai tiga petugas medis.
Kalaupun petugas medis berhasil melacak dan memantau kesehatan kontak erat dari pasien corona. Tahapan testing sering kali tak bisa dilakukan dengan cepat. Ini karena Kabupaten Bogor hanya punya empat alat polymerase chain reaction.
“Kapasitasnya juga beda dengan lab besar. Kapasitasnya per hari cuma 10, paling banyak 11 [orang]. Kalau kebutuhan massal kita kirim ke Bandung. Tapi mereka cuma bisa 200 per hari. Terus IPB (Institut Pertanian Bogor), cuma terima 50 per hari,” ungkapnya.
Kemampuan pemeriksaan di Kabupaten Bogor juga masih jauh dari standar WHO yang menetapkan minimal pemeriksaan seribu orang per satu juta penduduk.
Kabupaten Bogor hanya mampu memeriksa 800 orang per minggu. Dengan jumlah penduduk hingga 5,9 juta, itu artinya kemampuan pemeriksaannya baru sekitar 135 orang per satu juta penduduk. Ini jauh di bawah standar WHO.
Berdasarkan data per 27 September, kasus corona di Kabupaten Bogor sudah mencapai 1.705 orang yang positif. Tercatat ada 317 suspek yang masih dipantau dan 39 orang yang kemungkinan positif dan masih dipantau.
Jumlah kasus yang cukup tinggi ini banyak berdampak pada okupasi tempat tidur di rumah sakit dan fasilitas karantina. Syarifah mengatakan 78 persen kapasitas rumah sakit sudah penuh.
“Tanggal 13 September itu kita masih di 53 persen terpenuhi. Tapi yang sekarang sudah 78 persen. Di RS Cibinong saja sudah waiting list. Ada yang belum dapat kamar, masih di UGD,” ceritanya.
Pihaknya menanggulangi ini dengan memilah pasien yang harus dirawat dan bisa diisolasi mandiri. Dinas Kesehatan, katanya, tengah berupaya menambah kapasitas tempat tidur di rumah sakit dalam waktu dekat.
Di Jakarta, Kepala Puskesmas Cempaka Putih Dicky Alsadik mengerahkan 30 orang dalam satu minggu untuk melakukan tracing di wilayahnya. Dalam sehari pihaknya bisa melakukan tracing pada 10-15 kasus.
Menurut data corona.jakarta.go.id, Cempaka Putih Barat menduduki posisi ketiga tertinggi di DKI dengan 95 kasus positif aktif. Sedangkan Dicky mencatat per 23 September, sudah ada 1.029 kasus positif di Cempaka Putih.
“Jika kasus meningkat jumlah petugas belum mencukupi. Namun dalam satu minggu terakhir ini kami mendapat bantuan tracing dari beberapa sukarelawan yang didistribusikan melalui dinas kesehatan,” katanya.
Petugas yang dikerahkan puskesmas pun tak setiap saat fokus hanya melakukan Kas. Mereka juga bertugas melakukan pengambilan sampel swab, rapid test, merujuk pasien ke wisma atlet atau rumah sakit, hingga pelayanan pasien di poli.
Sementara dengan kemampuan 3T yang masih mandek di sejumlah daerah, jajaran pemerintah dikejar-kejar target menurunkan kurva corona secepat mungkin. Pada Juli, Jokowi memerintahkan jajarannya menekan angka kematian di delapan provinsi yang menyumbang 74 persen kasus corona di Indonesia.
Sedangkan wabah corona di sejumlah daerah masih tinggi. DKI Jakarta memutuskan menarik rem darurat dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kembali diperpanjang hingga Oktober. Salah satu pertimbangannya karena khawatir layanan kesehatan tidak mampu menerima lonjakan kasus.
**ass