Jakarta | Jurnal Inspirasi
Kebijakan Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS Kesehatan menui protes dan tanggapan keras dari berbagai pihak. Bahkan kini, mencuat wacana impeachment alias pemakzulan terhadap orang nomor satu di Indoesia itu. Pasalnya, Jokowi dianggap telah melanggar sumpah dan janji dalam menjalankan UUD 1945 dan UU.
Demikian disampaikan pakar hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam menanggapi penerbitan Perpres 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada Perpres 64/2020 tersebut menyatakan menaikkan iuran BPJS Kesehatan per Juli 2020 ini.
Padahal, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres 75/2019 tentang Perubahan Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan yang menjelaskan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
“Presiden Jokowi dapat dikatakan melanggar sumpah dan janjinya, yakni tidak menjalankan UUD dan UU,” ujar Saiful Anwar, Kamis (14/3). “Jelas-jelas pasal 7 ayat 2 huruf l UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan, pejabat pemerintahan memiliki kewajiban mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” sambungnya.
Apalagi, kata Saiful, putusan pengadilan berlaku res judicata pro veritate havetye yang artinya apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan. “Sehingga berlakulah azas self respec bagi pemerintah untuk segera menjalankannya,” jelas dia.
“Dengan demikian artinya di sini Jokowi sudah melangkahi UU dan putusan pengadilan, dalam hal ini Putusan MA tanggal 27 Februari 2020 Perkara Nomor 7 P/HUM/2020,” ungkap Saiful.
Saiful mengingatkan Presiden Jokowi untuk hati-hati lantaran hal tersebut dapat berbahaya pada jabatannya. Sebab, penerbitan itu bisa jadi pintu masuk untuk impeachment. “Saya kira sudah memenuhi unsur impeachment sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi,” tegas Saiful. “Apalagi ini kan menyangkut masyarakat luas, kalau masyarakat bergerak melakukan gerakan, ini bisa membahayakan posisi presiden,” tutupnya..
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis juga berpendapat, pemerintah hanya bisa memeras rakyat. Karena menurut Margarito, saat ini cukup sulit mencari hutang ditengah situasi pandemik virus corona baru atau Covid-19. Disisi lain, keputusan menaikan iuran BPJS padahal sebelumnya sudah ada keputusan Mahkamah Agung, memperlihatkan Jokowi tak memahami konstitusi. “Atau semua kebijakan tidak berada dalam konstitusi,” sindir Margarito.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan lagi nyaris 2 kali lipat dari posisi saat ini. Keputusan ini dilakukan tak lama setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang diberlakukan Jokowi mulai awal 2020 lalu. Kenaikan tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut ditandatangani Jokowi 5 Mei lalu.
Sementara tiga fraksi di DPR RI yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan segera dibatalkan. Wakil Ketua Fraksi PKS Mulyanto mengkritik keputusan pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, kebijakan itu tidak tepat dan semakin memberatkan masyarakat saat pandemi virus corona (Covid-19).
Mulyanto pun minta pemerintah segera membatalkan regulasi yang dikeluarkan 6 Mei 2020 itu karena tidak sesuai dengan amar putusan Mahkamah Agung Nomor 7P/HUM/2020 yang telah membatalkan regulasi terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya. “(Saya) minta pemerintah membatalkan Perpres No. 64/2020 yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran (BPJS Kesehatan),” kata Mulyanto dalam keterangannya, Kamis (14/5).
Secara hukum, kata Mulyanto, regulasi baru yang dibuat Jokowi untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini bermasalah karena tumpang tindih dengan Perpres 75/2019 yang masih berlaku. Menurutunya, dalam amar putusan MA Nomor 7P/HUM/2020 yang dibatalkan hanya Pasal 34 ayat (1) dan (2) karena bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 2 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 UU BPJS.
Terpisah, Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto juga meminta Perpres 64/2020 segera dibatalkan. Ia meminta pemerintah tidak menambah kesulitan yang dialami masyarakat di tengah pandemi virus corona. “Sebaiknya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 dicabut kembali atau dibatalkan,” kata Didik.
Ia menyebut kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah kesulitan dan penderitaan rakyat menghadapi pandemi virus corona seperti saat ini bertolak belakang dengan semangat melindungi segenap warga negara, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Senada, anggota DPR dari Fraksi PAN Yandri Susanto juga ikut meminta pemerintah membatalkan Perpres 64/2020 demi membahagiakan masyarakat. Menurutnya, masyarakat sedang mengalami kesulitan mencari nafkah dan pekerjaan di tengah pandemi virus corona.
“Mohon kiranya kenaikan (iuran) BPJS Kesehatan itu dibatalkan untuk membahagiakan,” ujarnya. Wakil ketua umum PAN itu mengatakan masalah kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Menurutnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini akan meruntuhkan antibodi masyarakat yang sedang bertahan saat pandemi.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menilai langkah Jokowi kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan adalah bentuk pembangkangan terhadap hukum dan bermain-main dengan putusan MA. Menurutnya, Jokowi juga telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU Mahkamah Agung dan juga asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 dengan mereplikasi peraturan yang telah dinyatakan tidak sah.
Asep Saepudin Sayyev |*