Jakarta | Jurnal Inspirasi
Kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan yang dibatalkan Mahkamah
Agung (MA) karena masyarakat melakukan Judicial Review (hak uji materil) harus
menjadi pelajaran berharga bagi Presiden Joko Widodo agar tidak sembarangan
membuat kebijakan. Peneliti dari Institute for Development of Economics and
Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan bahwa kenaikan iuran BPJS
Kesehatan memang tidak tepat dilakukan oleh pemerintah. Ini lantaran daya beli
masyarakat sedang sulit.
“Memang harusnya kenaikan iuran BPJS (Kesehatan) tidak dilakukan di saat
daya beli masyarakat sedang tertekan,” ucap Bhima Yudistira, Selasa
(10/3).
Dengan adanya penolakan dari MA tersebut kata Bhima, Presiden Jokowi diharapkan
untuk tidak lagi sembarangan mengeluarkan kebijakan. Apalagi kebijakan yang
mencekik rakyat sehingga mendatangkan gelombang penolakan. “Ini jadi
isyarat bahwa pemerintah kalau mau buat kebijakan hati-hati. Jangan blunder ke
ekonomi yang sedang kena corona,” tegasnya.
Bhima menambahkan, Presiden Jokowi harus mencari jalan keluar untuk mengatasi
persoalan defisit BPJS Kesehatan tanpa membebani rakyat Indonesia. Caranya,
kata Bhima, Presiden Jokowi harus membenahi data Penerima Bantuan Iuran (PBI)
yang hingga saat ini belum sinkron.
“Di sisi yang lain perlu dicari jalan keluar terkait masalah defisit BPJS (Kesehatan) tanpa membebani peserta. Kan soal kepatuhan pembayaran masih rendah, kemudian data PBI yang belum sinkron. Itu dulu yang dioptimalkan sebelum mau naikan iuran,” pungkasnya.
Asep Saepudin Sayyev |*