30.6 C
Bogor
Saturday, April 20, 2024

Buy now

spot_img

New Normal Bisa Jadi Herd Immunity?

Jakarta | Jurnal Inspirasi

Meskipun kasus Covid-19 mengalami penambahan yang mencapai ratusan orang per hari, pemerintah menyiapkan protokol untuk mengatur “new normal” atau situasi normal baru. Pemerintah akan mengatur mulai dari tata cara beribadah sampai langkah masuk ke restoran. Provinsi Bali, Yogya, dan Kepulauan Riau bakal jadi proyek percontohan pertama.

Persiapan protokol new normal ini disampaikan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, usai rapat kabinet dengan Presiden Joko Widodo. “Jadi nanti akan ada protokol bagaimana di restoran, bagaimana ibadah, nanti menteri agama akan mengatur itu. Lalu protokol bagaimana datang di acara yang pengunjung relatif banyak, dan sebagainya, nanti akan diatur secara detil dan itu harus dipatuhi,” kata Muhadjir dikutip dari BBC.

Namun, rencana tersebut menurut pengamat ekonomi adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok bisnis dan akan terus menguras uang negara untuk meredam penyebaran virus corona yang semakin sulit dihentikan. Senada, peneliti epidemiologi juga menyebut rencana menghadapi new normal ini sangat berbahaya karena berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat. Berdasarkan penelitian, sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala.

Sebelumnya pada Jumat (15/05) lalu, Presiden Joko Widodo juga sudah menyinggung tentang pentingnya kesiapan masyarakat dalam menghadapi apa yang disebutnya sebagai “tatatan kehidupan baru”. “Kebutuhan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan, itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru,” katanya.

Namun mantan Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla mengingatkan pemerintah berhati-hati terhadap opsi herd immunity atau kekebalan kelompok, untuk menghadapi Covid-19.

“Herd immunity bisa saja, cuma korbannya banyak,” kata pria yang akrab disapa JK, saat diskusi di Universitas Indonesia Webinar dengan tema “Segitiga Virus Corona”, Selasa (19/5).

Mantan Wakil Presiden ini mencontohkan penerapan herd immunity di Swedia. Dengan penerapan opsi tersebut, angka kematian di Swedia ternyata lebih tinggi dibanding negara di sekitarnya. “Tingkat kematian di Swedia lima kali lipat dibanding negara di sekitarnya akibat ingin mencoba herd immunity,” ujarnya.

Meski begitu, JK tak bisa melarang bila pemerintah mengambil opsi herd immunity, untuk melawan Covid 19 di Indonesia. “Boleh saja tapi korbannya banyak. Kalau korban materi barangkali bisa saja diganti, tapi kalau korban jiwa bagaimana, jadi jangan coba-coba yang kayak gini, korbannya banyak pasti, apakah kita akan memilih itu, jangan,” ujarnya.

Menurut JK, opsi herd immunity juga tidak direkomendasikan oleh WHO atau lembaga kesehatan dunia lainnya. “Negara apa yang ingin seperti itu, dan itu tidak dianjurkan oleh WHO atau lembaga mana pun,” katanya.

Sebelum rapat kabinet tentang new normal pada 18 Mei, pemerintah sudah beberapa kali menyinggung pelonggaran pembatasan, misal dengan membolehkan warga yang berusia 45 tahun kebawah untuk kembali bekerja dan membolehkan kelompok masyarakat tertentu untuk mudik.

Dalam pembicaraan di media sosial kemudian berkembang isu pemerintah tengah berniat memberlakukan strategi herd immunity (upaya menghentikan laju penyebaran virus dengan cara membiarkan imunitas alami tubuh).

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, berpendapat yang dilakukan pemerintah semata peloggaran PSBB dan bukan pembiaran sistemik agar masyakat banyak yang terinfeksi (herd immunity). “Tidak mungkin terjadi karena herd immunity hanya terjadi bila lebih dari 70-80 persen penduduk Indonesia terinfeksi dan punya imunitas yang berhasil hidup.”

Senada, peneliti epidemiologi dari Eijkman -Oxford Clinical Research Unit Henry Surendra mengatakan jika yang dituju pemerintah dengan melakukan pengurangan pembatasan sosial adalah menciptakan herd immunity , maka rencana itu sangat berbahaya.

“Dibutuhkan sekitar 70% populasi yang berarti sekitar 190 juta orang Indonesia untuk terinfeksi baru herd imunity tercapai. Ini berpotensi menimbulkan banyak korban jiwa,” katanya.

Istana melalui Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin mengatakan, “Herd Immunity, tidak akan lah.” Sementara dalam jumpa pers usai rapat kabinet, Muhadjir Effendy mengatakan protokol yang dibahas adalah upaya mengurangi PSBB yang bertujuan untuk memulihkan produktivitas. “Di satu sisi juga wabah Covid-19 tetap bisa dikendalikan, tetap ditekan, hingga nanti antiklimaksnya selesai, terutama setelah ditemukan vaksin,” jelas Muhadjir.

Menurut peneliti epidemiologi dari Eijkman -Oxford Clinical Research Unit Henry Surendra terdapat empat hal yang harus dipenuhi sebelum melakukan pelonggaran pembatasan sosial. Pertama, laju kasus baru sudah turun secara konsisten, atau angka reproduksi (R0) kasus turun signifikan misalnya sudah sampai dengan kurang dari sama dengan satu.

Kedua adanya tren penurunan populasi berisiko dalam hal ini penurunan PDP, ODP, dan OTG.

“Ketiga, jumlah dan kecepatan tes sudah memadai, yaitu kapasitas tes PCR, jadi minimal sudah tidak ada lagi tumpukan antrean sample di laboratorium dan stok reagen aman untuk 1-2 bulan ke depan.

“Terakhir adalah kesiapan sistem kesehatan. Tidak hanya kapasitas rumah sakit yang siap menampung jika terjadi lonjakan kasus, tapi juga kapasitas tim di lapangan dalam melakukan deteksi dini, pelacakan kasus dan kontak, serta pelaporan secara real time,” kata Henry.

Ketika empat syarat tersebut belum terpenuhi maka keputusan melakukan pelonggaran PSBB akan sangat berbahaya karena berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat.

Apalagi, kata Henry, berdasarkan penelitian di luar negeri bahwa sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala. “Adanya pelonggaran ini saya kira tidak berdasar pada kajian epidemologi dan kesehatan masyarakat karena sampai saat ini laju pertumbuhan kasus di Indonesia belum turun secara konsisten, selain itu jumlah tes harian masih minim, dan penerapan PSBB masih belum maksimal,” kata Henry.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menilai rencana pengurangan atau pelonggaran aturan pembatasan sosial yang dibungkus dalam bentuk protokol new normal adalah bentuk keberpihakan pemerintah pada kelompok bisnis, tanpa mempertimbangkan sisi kesehatan masyarakat. “Pemerintah hanya mendengarkan sekelompok orang dari pihak bisnis. Pemerintah terburu-buru jika aturan itu dikeluarkan dalam waktu cepat,” kata Esther.

Ia menambahkan jika rencana itu diterapkan hanya akan membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk karena menguras uang pemerintah untuk meredam virus tersebut.

“Jadi berapa pun nanti anggaran yang dikeluarkan pemerintah itu tidak akan mampu untuk meredam virus covid karena penyebarannya luas sekali. Jadi satu-satunya cara adalah membatasi diri, menghimbau masyarakat untuk stay at home.

“Yang utama itu kesehatan baru ekonomi. Nyawa tidak bisa dibeli dengan uang. Kita sudah sehat, uang itu bisa dicari. Tidak ada negara yang melonggarkan PSBB jadi landai, ini rencana yang salah,” katanya.

Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menerbitkan protokol transisi menuju the new normal atau tata kehidupan baru sebelum vaksin Covid-19 belum ditemukan.

“Kompleksitas dan ketidakpastian ada di depan, yang berarti bahwa kita memasuki periode di mana kita mungkin perlu menyesuaikan langkah dengan cepat,” kata Direktur Regional WHO untuk Eropa Henri P. Kluge dikutip dari dokumen resmi di situs WHO.

Menurut WHO, sebelum langkah pelonggaran pembatasan untuk menuju ‘the new normal’ diterapkan, pemerintah mesti membuktikan bahwa transmisi virus corona sudah dikendalikan. Pelonggaran pembatasan, menurut WHO, harus dilakukan secara bertahap dan otoritas terkait diminta terus mengevaluasi kebijakannya.

Syarat lainnya, lanjutnya, kapasitas sistem kesehatan masyarakat – diantaranya rumah sakit – harus tersedia untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien COVID-19. Disebutkan pula dalam protokol itu, tata kehidupan baru bisa diterapkan apabila risiko penularan wabah sudah terkendali terutama di tempat dengan kerentanan tinggi.

Masing-masing negara juga diharuskan mampu menerapkan langkah pencegahan di tempat kerja, berupa jarak fisik, fasilitas cuci tangan dan diikuti etika batuk atau bersin. Protokol WHO juga menyebutkan setiap langkah menuju transisi ‘the new normal’ harus dipantau oleh otoritas kesehatan.

“Akhirnya, perilaku masing-masing warga akan menentukan karakter virus. Ini akan membutuhkan ketekunan dan kesabaran, tidak ada jalur cepat untuk kembali normal,” demikian protokol WHO.

** Asep Saepudin Sayyev |*

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisement -
- Advertisement -

Latest Articles